Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU KPK Jalan Terus, Ini Tiga Keinginan Jokowi

Kompas.com - 13/09/2019, 06:46 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

Kesepakatan itu disampaikan dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) dengan perwakilan Presiden Joko Widodo, yaitu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2019) malam.

"Kami tegaskan kembali bahwa pada prinsipnya kami menyambut baik dan siap membahas usul DPR atas rancangan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam rapat-rapat berikutnya," kata Yasonna.

Baca juga: Rapat Baleg Malam-malam Putuskan Revisi UU KPK dan MD3 Jalan Terus

Namun, ada tiga keinginan Presiden Jokowi dalam rancangan revisi UU KPK tersebut.

Pertama, pengangkatan ketua dan anggota dewan pengawas harus menjadi kewenangan presiden. Alasannya, agar dapat meminimalisir waktu dalam proses pengangkatan dan terciptanya proses transparansi dan akuntabilitas.

"Mekanisme pengangkatan tetap melalui panitia seleksi serta membuka ruang bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan terhadap calon anggota pengawas mengenai rekam jejaknya," ujar dia.

Baca juga: Jokowi Dinilai Semestinya Tak Perlu Buru-buru Respons Usulan Revisi UU KPK

Kedua, pegawai KPK semestinya berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut Yasonna, pemerintah membutuhkan waktu dua tahun untuk mengalihkan pegawai KPK menjadi ASN.

"Dalam RUU ini, pemerintah mengusulkan adanya rentang waktu yang cukup (selama 2 tahun) untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah Aparatur Sipil Negara," tutur Yasonna.

"Dengan tetap memperhatikan standar kopetensi mereka, yakni harus telah mengikuti dan lulus pendidikan bagi penyelidik dan penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," sambungnya.

Baca juga: Penasihat KPK Ikut Orasi Tolak Revisi UU KPK dan Capim Bermasalah

Ketiga, KPK harus sebagai lembaga negara. Hal ini sebenarnya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam aturan itu, dikatakan KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau bahkan independen. Lembaga state auxiliary agency ini disebut sebagai lembaga eksekutif independen.

KPK disebut eksekutif karena melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yakni penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

"Namun demikian, Pemerintah bersedia dan terbuka untuk melakukan pembahasan secara lebih mendalam terhadap seluruh materi muatan dalam RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini," lanjut dia.

Baca juga: Jokowi Terbitkan Surpres Revisi UU KPK, Laode: Ini Preseden Buruk

Selanjutnya, forum rapat pun membentuk panitia kerja (Panja) sebagai wadah pembahasan masing-masing revisi UU tersebut.

Forum memutuskan, Ketua Panja revisi UU KPK dipercayakan kepada Supratman Andi Agtas. Ia diketahui juga merupakan Ketua Baleg DPR.

Sementara, Ketua Panja revisi UU MD3 dipercayakan kepada Totok Daryanto.

 

Kompas TV Pemerintah dan Baleg DPR menggelar sidang revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang kali ini digelar tanpa proses paripurna. Menkumham Yasonna H. Laoly mengklaim surat presiden tidak perlu dengan paripurna. Saat sidang digelar, Baleg DPR menyatakan ada 7 poin yang menjadi pembahasan dalam RUU KPK. Ketujuh poin adalah kedudukann KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekausaan eksekutif, pembentukan dewas, pelaksanaan penyadapan. Poin lainnya soal mekanisme penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), Koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum yg ada sesuai hukum acara pidana, mekanisme penggeladahan dan penyitaan, dan sistem kepegawaian KPK.<br /> Selengkapnya kita simak laporan Jurnalis KompasTV Iryanda Mardanuz.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

MKMK: Hakim MK Guntur Hamzah Tak Terbukti Langgar Etik

Nasional
Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Ratusan Bidan Pendidik Tuntut Kejelasan, Lulus Tes PPPK tapi Dibatalkan

Nasional
Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Surya Paloh Ungkap Alasan Nasdem Tak Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau 'Ge-er'

Golkar: Belum Ada Pernyataan Resmi Pak Jokowi Keluar dari PDI-P, Kami Enggak Mau "Ge-er"

Nasional
Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com