JAKARTA, KOMPAS.com — Aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib merupakan sosok laki-laki yang sempurna di mata Suciwati. Munir memenuhi segala kriteria yang diinginkan perempuan kelahiran Malang, 23 Maret 1968, itu.
Munir dinilai Suciwati sebagai sosok yang pintar, berintegritas, punya kepedulian terhadap sesama. Adapun yang paling mengesankan Suciwati, Munir tidak gila kuasa.
"Dia melengkapi sosok laki-laki yang selama ini ada di mimpi saya. Dia punya semuanya," ujar Suciwati.
"Buat saya, dia juga tidak arogan, tidak gila kuasa, dia orang yang sederhana. Kalau saya bilang, dia laki-laki impian," tuturnya.
Baca juga: Koordinator Kontras Mengenang Inspirasi dan Pertemuan Terakhir dengan Munir...
Pada Sabtu (7/9/2019), kami bertemu di sebuah kios kecil di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Suasana kedai masih agak ramai ketika kami berbincang.
Puluhan anak muda dengan latar belakang pegiat HAM, seniman, dan mahasiswa baru saja mengikuti acara peringatan 15 tahun kasus pembunuhan Munir.
Meski ramai, pertemuan itu terasa sedikit emosional.
Anak perempuannya, Diva Suukyi Larasati, ikut menemani saat Suciwati menceritakan awal pertemuannya dengan Munir 28 tahun lalu.
Saat itu Suciwati aktif di gerakan buruh Malang, Jawa Timur. Ia mengadvokasi kasus-kasus yang dialami buruh perempuan, dari soal pelecehan hingga perampasan hak.
Baca juga: Tetap Menolak Lupa, 15 Tahun Kematian Munir di Pesawat Garuda
Suatu hari, Lembaga Bantuan Hukum di Malang mengadakan sebuah diskusi mengenai hukum perburuhan. Beberapa teman aktivis meminta Suciwati untuk datang.
Dalam diskusi itulah pertama kali Suciwati bertemu dengan Munir.
"Waktu itu hari Minggu, saya lagi kerja lembur, tapi saya sempatkan mampir. Di situ saya bertemu pertama kali. Tahun 1991. Saya diajak ke diskusi dan dikenalkan sama mereka (aktivis buruh). Cuma sebentar bertemu dan saya pergi begitu saja," ucap Suciwati.
Tidak lama setelah pertemuan itu, Munir mendapat tugas untuk mengelola LBH Malang. Munir sering bertemu dengan Suciwati dalam kerja-kerja advokasi buruh.
Di LBH, keduanya saling berbagi tugas. Munir mengelola gerakan mahasiswa melalui diskusi rutin di kantor LBH. Sementara Suciwati tetap mengorganisasi gerakan buruh.