JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Manuel Kaisiepo, menilai selama ini pemerintah keliru dalam memahami dan menangani segala persoalan warga Papua.
Akibatnya, Papua mudah sekali bergejolak dengan isu referendum dan disintegrasi. Ini termasuk gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi belakangan ini.
"Kita harus jujur memang ada yang salah dalam cara kita menangani Papua, cara kita memahami Papua. Cara memahami saja sudah keliru, apalagi menangani," ujar Manuel dalam diskusi "Mengurai Akar Masalah dan Kondisi Terkini Papua", di Menara Kompas, Jakarta Barat, Kamis (5/9/2019).
Baca juga: Polri Duga Dalang Kerusuhan Papua Rancang Aksi hingga 1 Desember
Menurut Manuel, kekeliruan dalam memandang persoalan di Papua mulai terjadi setelah era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap warga Papua cenderung bersifat teknis, misalnya melalui pembangunan infrastruktur.
Padahal, pendekatan teknis seperti itu tidak menyentuh akar permasalahan di Papua, yakni marjinalisasi, diskriminasi dan kekerasan.
Manuel menjelaskan, selama 32 tahun di masa Orde Baru, masyarakat Papua telah mengalami berbagai macam bentuk ketidakadilan.
Mulai dari operasi militer, eksploitasi sumber daya alam hingga marjinalisasi.
Baca juga: Komnas HAM: Pendekatan Dialog Bisa Akhiri Konflik Papua
Sementara, Gus Dur memahami bagaimana cara melakukan pendekatan terhadap warga Papua. Gus Dur memilih pendekatan berbasis kemanusiaan dan kebudayaan.
Seperti diketahui Gus Dur mengabulkan perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua.
Bahkan ia memberikan keleluasaan bagi warga Papua untuk mengekspresikan identitas kebudayaannya, misalnya pengibaran bendera Bintang Kejora.
Gus Dur juga mengizinkan masyarakat Papua menggelar kongres Rakyat Papua II dan memberikan bantuan dana.
Bagi warga Papua, kongres itu merupakan ruang demokrasi untuk mengaktualisasikan identitas diri mereka.
Baca juga: Polri Deteksi Kelompok Terafiliasi ISIS di Papua Sejak 2 Tahun Lalu
Pada akhir 2001, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua).
Dalam Pasal 2 UU Otsus Papua tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
"Gus Dur tahu terhadap masyarakat yang punya trauma seperti itu pendekatannya harus beda. Bukan pendekatan teknikal tapi pendekatan dignity, kebudayaan. Dia mengangkat harkat dan martabat orang Papua," kata Manuel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.