Nyatanya, kata Saut, keberadaan draf RUU KPK saat ini tak sesuai dengan prinsip pemberantasan dan pencegahan korupsi dalam UNCAC itu.
Misalnya, UNCAC mengamanatkan lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen.
Akan tetapi, dalam draf revisi UU KPK disebutkan pada Pasal 3 bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga pemerintah pusat.
Poin yang mengatur kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif juga tertuang di dalam penjelasan umum revisi UU KPK tersebut.
"Apa yang kita dapat hari ini dengan UU KPK hari ini (yang berlaku) sudah jelas mengatakan bahwa KPK tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan manapun. Untuk sementara undang-undang yang ada sudah relevan dengan piagam PBB," kata Saut.
Saut menyarankan lebih baik revisi Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diprioritaskan.
"Yang perlu diubah justru inline (sejalan) dengan piagam PBB yaitu UU Tipikor kita. Di UU Tipikor kita masih banyak belum inline dengan piagam PBB yang kita ratifikasi, seperti perdagangan pengaruh, asset recovery, dan hal-hal lain yang relevan," ujar Saut.
"Oleh sebab itu, kalau itu dilakukan yang diprioritaskan, bukan mengubah UU KPK-nya, tetapi mengubah dengan jelas apa yang diminta PBB, yaitu UU Tipikor," tuturnya.
Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Revisi UU KPK Guna Perbaikan Kinerja KPK
Sementara itu, anggota Wadah Pegawai KPK Henny Mustika Sari dalam orasinya mengatakan, KPK telah menghadapi berbagai upaya pelemahan di berbagai era pemerintahan.
Oleh karena itu, ia berharap Presiden Joko Widodo tak membiarkan lembaga antirasuah itu diperlemah lewat revisi Undang-undang tentang KPK.
"Presiden Abdurrahman Wahid merancang KPK, Presiden Megawati Soekarnoputri melahirkan KPK, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melindungi KPK. Dan jangan sampai sejarah mencatat KPK mati pada masa Presiden Joko Widodo," kata Henny.
Henny menyatakan, KPK lahir dengan didukung undang-undang yang kuat dan pimpinan-pimpinan yang independen dan bersih dari persoalan rekam jejak.
"Tanpa hadirnya kedua hal tersebut, KPK telah mati," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.