JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang mengatakan, kewenangan revisi Undang-undang tentang KPK berada di tangan DPR dan Pemerintah.
"Cukup, itu hak mereka, ya, itu kewenangan mereka. Tapi akan menjadi aneh kalau kita tidak mendekati undang-undang secara filosofis, sosiologis, yuridis formal," kata Saut di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Revisi dinilainya relevan jika itu ditujukan memperkuat KPK, bukan memperlemah lembaga antirasuah itu.
"Revisi itu relevan kalau itu memperkuat, kalau memperlemah, tolak, titik," katanya.
Baca juga: Usul Revisi UU KPK Disebut Datang dari Fraksi PDI-P, Golkar, Nasdem, dan PKB
Nyatanya, kata Saut, keberadaan draf RUU KPK saat ini tak sesuai dengan prinsip pemberantasan dan pencegahan korupsi dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Misalnya, mengamanatkan lembaga antikorupsi di suatu negara harus independen.
Akan tetapi, dalam draf revisi UU KPK disebutkan pada Pasal 3 bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga pemerintah pusat.
Baca juga: Fahri Hamzah Sebut Revisi UU KPK Guna Perbaikan Kinerja KPK
Poin yang mengatur kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif juga tertuang di dalam penjelasan umum revisi UU KPK tersebut.
Penjelasan itu berbunyi, "Penataan kelembagaan KPK dilaksanakan sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, di mana dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari cabang kekuasaan pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi termasuk ranah kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan–bestuursorganen)".
"Apa yang kita dapat hari ini dengan UU KPK hari ini (yang berlaku) sudah jelas mengatakan bahwa KPK tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan manapun. Untuk sementara undang-undang yang ada sudah relevan dengan piagam PBB," katanya.
Baca juga: Jokowi Akan Pelajari Draf Revisi UU KPK Setibanya di Jakarta
Saut menyarankan lebih baik revisi Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diprioritaskan.
"Yang perlu dirubah justru in line (sejalan) dengan piagam PBB yaitu UU Tipikor kita. Di UU Tipikor kita masih banyak belum inline dengan piagam PBB yang kita ratifikasi, seperti perdagangan pengaruh, asset recovery dan hal-hal lain yang relevan," ujar Saut.
"Oleh sebab itu, kalau itu dilakukan yang diprioritaskan, bukan mengubah UU KPK-nya, tetapi mengubah dengan jelas apa yang diminta PBB, yaitu UU Tipikor," tambahnya.
Baca juga: PSI: Jangan Sampai Revisi UU KPK Lemahkan Pemberantasan Korupsi
Hari ini, kata Saut, pimpinan KPK juga sudah menandatangani surat untuk dikirim ke Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK tersebut. Harapannya, Presiden Jokowi bisa mengambil sikap yang bijaksana terkait revisi itu.
Diberitakan sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi UU KPK yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis siang.
Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.