JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengaku tak heran dengan DPR terkait poin-poin dalam rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
"Jadi kalau DPR saya mengatakan, tidak heran, apa yang mau diherankan dari cara DPR memperlakukan KPK, saya enggak pernah heran," ujar Zainal ketika dihubungi Kompas.com, Jumat (6/9/2019).
DPR tiba-tiba menggelar rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) terkait RUU tersebut.
Baca juga: Kita Patut Curiga Agenda Mendadak DPR untuk Revisi UU KPK...
Menurut dia, dalam draf revisi UU KPK tahun 2019 ini nyaris tidak ada yang baru.
"Karena sebagian besar itu sudah begitu dari dulu, mereka kan menolak penyidik independen, dari dulu, cuman sekarang dibahasakan lebih letterless lagi untuk mengatakan kalau penyidik dari polisi," ujar dia.
Bahkan, hal itu juga diakui Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu yang mengatakan bahwa poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017.
Perubahannya menyangkut beberapa hal, antara lain terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), dan status kepegawaian KPK.
Jika dinilai dari isi draf, Zainal tak memungkiri bahwa poin-poin di dalamnya dapat menjadi ancaman bagi KPK.
Kendati demikian, ia mengatakan bahwa proses rancangan tersebut untuk disahkan menjadi UU masih panjang.
Saat ini, kuncinya berada di tangan Presiden Jokowi yang dapat menolak rancangan tersebut.
"Kita sih berharap presiden mau meluruskan langkahnya, apa janjinya ketika kampanye dulu, bahwa akan melindungi pemberantasan korupsi dan lain-lain sebagainya, makanya tagihan itu sebenarnya ke presiden," tutur Zainal.
Baca juga: Jika Jokowi Tak Keluarkan Surat Presiden, Revisi UU KPK Tak Akan Dibahas
DPR telah menyusun rancangan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu poinnya mengatur tentang kedudukan KPK yang berada pada cabang eksekutif.
Dengan kata lain, jika revisi undang-undang ini disahkan, KPK akan menjadi lembaga pemerintah.
Rancangan tersebut pun menuai kritik dari sejumlah pihak karena diduga dapat melemahkan KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.