JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota DPR periode 2014-2019 segera mengakhiri masa jabatan mereka pada September ini.
Selama bertugas, mereka mengesahkan 78 atau 40 persen rancangan undang-undang (RUU) dari target program legislasi nasional (prolegnas) sebanyak 189 RUU.
Di luar RUU target prolegnas, DPR menyelenggarakan rapat paripurna yang membahas dua agenda, yaitu mendengar pandangan fraksi-fraksi terkait dengan usulan revisi UU Nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan usulan revisi UU Nomor 39 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Usulan revisi UU MD3 pun disetujui semua fraksi di DPR. Tak ada fraksi yang menyatakan keberatan atau interupsi dalam sidang yang digelar Kamis (5/9/2019).
Baca juga: Revisi UU MD3 Disebut Bertentangan dengan Putusan MK
Usulan revisi UU MD3 tersebut antara lain mengesahkan agar jumlah pimpinan MPR ditambah dari 7 menjadi 10.
Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi agar setiap fraksi di DPR mendapat jatah pimpinan.
Setelah diketok di paripurna, revisi UU MD3 akan dibahas dengan pemerintah. Bila pemerintah setuju, revisi UU MD3 akan kembali dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Distribusi kekuasaan
Sejak 2014 sampai saat ini, UU MD3 sudah direvisi tiga kali. Kini, menjelang masa jabatan para anggota DPR periode 2019-2024 berakhir, usul untuk merevisi UU MD3 kembali mencuat.
Revisi UU MD3 ini dicurigai untuk bagi-bagi kursi antara anggota DPR serta memperkuat kewenangan para wakil rakyat.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai, persetujuan semua fraksi di DPR terkait revisi UU MD3 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, kata Feri, soal jumlah kursi pimpinan MPR sesungguhnya sudah dituntaskan melalui putusan MK.
"Maka, setiap upaya mengubah UU MD3 akan berpotensi menantang UUD 1945 yang telah ditafsirkan MK. Itu sebabnya, di penghujung masa jabatan upaya mengubah UU MD3 sangat politis karena mengabaikan kehendak UUD," ujar Feri.
Baca juga: Jika UU MD3 Direvisi, Ketum Golkar Sebut Pemilihan Pimpinan MPR lewat Musyawarah
Menurut dia, DPR terkesan bernafsu menjalankan agenda merusak lembaga legislatif dengan menjadikannya sebagai sarana bagi-bagi kekuasaan.
"Tujuannya diduga agar pembagian kursi di MPR menjadi lebih rata, semua parpol mendapatkan kursi. Ya ini namanya politik transaksional saja," kata Feri.