JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang Feri Amsari menilai, revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, dalam revisi UU MD3, mengubah jumlah jumlah pimlinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari 7 menjadi 10.
Padahal, kata Feri, soal jumlah kursi pimpinan MPR sesungguhnya sudah dituntaskan melalui putusan MK Nomor 117/PUU-VII/2009.
Baca juga: Jejak Revisi UU MD3, Empat Kali Diubah demi Bagi-bagi Kursi dan Kekuasaan
"Maka, setiap upaya mengubah UU MD3 akan berpotensi menantang UUD 1945 yang telah ditafsirkan MK. Itu sebabnya, di penghujung masa jabatan upaya mengubah UU MD3 sangat politis karena mengabaikan kehendak UUD," ujar Feri kepada Kompas.com, Kamis (5/9/2019).
Menurut pakar hukum tata negara ini, DPR terkesan bernafsu menjalankan agenda merusak lembaga legislatif dengan menjadikannya sebagai sarana bagi-bagi kekuasaan.
"Tujuannya diduga agar pembagian kursi di MPR menjadi lebih rata, semua parpol mendapatkan kursi. Ya ini namanya politik transaksional saja," ungkapnya kemudian.
Baca juga: Jika UU MD3 Direvisi, Ketum Golkar Sebut Pemilihan Pimpinan MPR lewat Musyawarah
Diketahui, persetujuan semua fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.
Berdasarkan draf dari Baleg, pada intinya revisi ini hanya mengubah jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang yang terdiri dari satu ketua dan sembilan wakil ketua.
Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi agar setiap fraksi di DPR mendapat jatah pimpinan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.