JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut Pangaribuan mengatakan, sistem hukum di Indonesia saat ini lebih membutuhkan regulasi yang mengatur pengawasan terhadap kekuasaan hakim (contempt of power) dibandingkan regulasi yang mengatur pemidanaan bagi penghina lembaga peradilan (contempt of court).
Hal tersebut dikarenakan kekuasaan hakim di Indonesia sangat absolut, baik secara substansi maupun formil serta hukum acaranya.
"Yang kita perlukan contempt of power. Bicara sistem peradilan, kekuasaan hakim kita absolut dan tidak berubah secara substansi. Hakim yang menentukan fakta, hukum, tidak berbagi dengan siapapun," terang Luhut dalam diskusi legal update yang diselenggarakan Ikadin di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2019).
Baca juga: Komisi III: Delik Contempt of Court dalam RKUHP Akan Dirumuskan Ulang
Apabila seorang hakim menyalahgunakan kewenangannya, maka dapat mencoreng lembaga peradilan secara keseluruhan.
"Paling sensitif adalah kekuasaannya yang absolut. Kalau itu disalahgunakan, maka hancur peradilan kita yang kredibel. Yang kita harus jaga, jangan sampai hakim terpengaruh atau dipengaruhi pihak-pihak yang tidak ada kepentingannya dengan kekuasaan kehakiman," kata dia.
Kendati demikian, regulasi yang mengatur pengawasan terhadap kekuasaan hakim dinilai hanya sebatas konsep. Sama seperti contempt of court. Keduanya tidak diatur dalam UU di Indonesia dan hanya berupa teori hukum saja.
Luhut mengatakan, walaupun contempt of court atau tindak pidana terhadap proses peradilan tersebut pernah dijelaskan dalam UU Mahkamah Agung tahun 1985, tetapi di luar itu tak ada penjelasan lainnya.
"Saya selalu mengatakan itu, melawankan contempt of court dengan contempt of power. Mana yang lebih kita butuhkan? Saya katakan contempt of power. Artinya yang mempunyai power tapi menjaga power-nya itu untuk peradilan yang jujur, imparsial, impersonal, dan objektif," kata dia.
Baca juga: LBH Pers: 10 Pasal dalam RKUHP Ancam Kebebasan Pers
Pernyataan Luhut berkaitan dengan pasal contempt of court dalam RKUHP sendiri sedang menjadi sorotan publik. Pasal itu dianggap rawan menjadi pasal karet yang akan mengkriminalisasi masukan-masukan kritis terhadap proses peradilan serta pemberitaan terkait kinerja peradilan.
Delik contempt of court dianggap dapat menghambat reformasi peradilan yang masih membutuhkan masukan dari masyarakat dan media dalam menilai proses penyelenggaraan peradilan.