Dinilai bukan makar
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pemerintah kurang hati-hati dan tidak menyentuh akar permasalahan isu Papua.
Usman memandang, respons pemerintah terkait pengibaran bendera bintang kejora justru menempatkan orang Papua sebagai pihak yang bermasalah.
Hal ini tentunya akan memperkeruh suasana.
"Pemerintah mengambil langkah yang kurang hati-hati dan kurang menyentuh esensi akar masalah," ujar Usman saat dihubungi wartawan, Senin (2/9/2019).
"Kemudian (respons terharap) pengibaran bendera (bintang kejora) malah menempatkan orang Papua sebagai pihak yang bersalah," ucap dia.
Baca juga: Seorang Pemotor Dihentikan TNI karena Bawa Tas Bermotif Bendera Bintang Kejora
Hal senada disampaikan Deputi Direktur Advokasi ELSAM Andi Muttaqien. Ia mengatakan, pengibaran bendera bintang kejora belum dapat dikatakan adanya upaya makar.
Sebab, bendera tersebut merupakan bagian dari kultur masyarakat Papua.
"Bendera bintang kejora adalah simbol yang sudah menjadi kultur bagi masyarakat Papua. Demonstrasi dengan menggunakan bendera bintang kejora adalah sebuah ekspresi kultural, sehingga tidak dapat dikatakan adanya makar," ujar Andi melalui keterangan tertulisnya, Senin (2/9/2019).
Selain itu, tindakan perubahan ketatanegaraan, termasuk permintaan referendum, tidak dapat dijerat pasal makar.
Andi mengatakan, biasanya penerapan Pasal 106 KUHP dikaitkan dengan Pasal 110 tentang permufakatan jahat untuk melakukan makar.
"Namun, yang menarik adalah dalam ketentuan Pasal 110 Ayat (4) KUHP disebutkan bahwa, tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum," kata Andi.
Pemaknaan bendera bintang kejora sebagai simbol kultural masyarapat Papua pernah ditegaskan oleh Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Redaktur Nahdlatul Ulama (NU) Online Fathoni Ahmad pernah menulis, saat tak lagi menjadi presiden pada 2007, Gus Dur kembali menyebut alasannya memperbolehkan bendera bintang kejora berkibar.