JAKARTA, KOMPAS.com - Kalangan masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia (HAM) mengkritik sikap pemerintah dalam merespons pengibaran bendera bintang kejora saat aksi unjuk rasa yang digelar warga Papua.
Polisi menangkap dan menetapkan tersangka terkait peristiwa pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Merdeka, pada Rabu (28/8/2019) lalu.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan makar berdasarkan Pasal 106 dan 110 KUHP.
Muncul pertanyaan, apakah pengibaran bendera bintang kejora dapat dikategorikan sebagai tindakan makar?
Apakah berdasarkan undang-undang, bendera bintang kejora merupakan simbol yang dilarang karena lekat dengan organisasi Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP)?
Baca juga: Pengibar Bendera Bintang Kejora Termasuk Makar? Ini Menurut Komnas HAM
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, penggunaan bendera bintang kejora memang masih menjadi perdebatan.
Sebab, dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) tertulis bahwa Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.
Menurut Taufan, bendera bintang kejora dapat dikategorikan sebagai simbol kultural masyarakat Papua.
"Pasal 2 (UU Otsus Papua) mengatakan bahwa memang papua itu memiliki kekhususan untuk menggunakan lambang daerahnya yang kita sebut sebagai lambang sosial budaya," ujar Taufan saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Di sisi lain, menurut Taufan, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Pasal 6 Ayat (4) PP tersebut menyatakan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/ lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Memang ada perdebatan. Dulu di zaman Pak SBY ada PP yang mengatakan tidak boleh menggunakan simbol yang sama dengan organisasi yang dilarang," kata Taufan.
Baca juga: Seorang Pemotor Dihentikan TNI karena Bawa Tas Bermotif Bendera Bintang Kejora
Meski demikian, Taufan menilai, aparat penegak hukum sebaiknya tidak mengesampingkan aspek yang tercantum dalam Pasal 2 UU Otsus Papua.
Ia menekankan pentingnya bagi polisi untuk mempertimbangkan ketentuan Pasal 2 Otsus Papua terkait kasus pengibaran bendera bintang kejora.
"Tapi kita minta supaya polisi transparan dalam proses penegakan hukumnya. Polisi memng punya wewenang untuk penegakan hukum tetapi kita juga mempertanyakan apa polisi tidak lihat ada pasal 2 itu dan mempertimbangkan aspeknya," ucap Taufan.