JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyatakan menolak dimasukannya delik tindak pidana terhadap proses peradilan atau contempt of court dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Dio Ashar Wicaksana, salah satu anggota koalisi, mengatakan, keberadaan pasal ini menjadi pasal karet yang akan mengkriminalisasi masukan-masukan kritis terhadap proses peradilan serta pemberitaan terkait kinerja peradilan.
Artinya, delik contempt of court berpotensi menghambat reformasi peradilan yang masih membutuhkan masukan dari masyarakat dan media dalam menilai proses penyelenggaraan peradilan.
Baca juga: Dalam RKUHP, Ancaman Pidana bagi Koruptor Lebih Ringan
"KPP memandang pasal ini akan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat atau pihak-pihak yang mencoba memberikan masukan terhadap kinerja peradilan," ujar Dio saat dihubungi Kompas.com, Senin (2/9/2019).
"Kami meminta tim perumus, pemerintah dan DPR agar menghapus ketentuan mengenai delik contempt of court dalam RKUHP ini," ucapnya.
Menurut Dio, delik contempt of court rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana.
Baca juga: PKS Ingin RKUHP Tegas Menghukum Perzinaan Sesama Jenis
Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, pers atau media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial.
Padahal, kata Dio, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa.
Di sisi lain, antara pengkritik dengan hakim atau pengadilan tersebut pun tidak ada relasi kuasa yang cukup kuat hingga mampu mengubah integritas hakim.
Baca juga: Dalam RKUHP, Polisi dan Jaksa Berwenang Menindak Berdasar Hukum Adat
"Hakim yang secara independen mengadili perkara, tidak akan terganggu dengan kritikan yang sekeras apapun disuarakan, kecuali seperti telah disebutkan di atas dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau melawan hukum, yang mana sudah diatur dalam pidana lain dalam undang-undang di Indonesia," tutur Dio.
Pasal 281 huruf c draf terbaru RKUHP menyatakan, setiap orang secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan dipidana penjara paling lama 1 tahun.
Baca juga: Kritik Terhadap Pasal Karet dalam RKUHP dan Potensi Ancaman Bagi Korban Perkosaan
Selain itu tindakan lain yang masuk dalam kategori contempt of court yakni, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Rumusan ini berpotensi akan menjadi pasal karet, karena tidak secara jelas menyebutkan apa yang dimaksud dengan bersikap tidak hormat terhadap hakim.
Adapun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).