JAKARTA, KOMPAS.com — Tak semua pihak menyambut baik rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Rumor terkait perpindahan ibu kota pun beredar, mulai dari rumor soal lingkungan hidup hingga kepentingan politik di balik rencana Presiden Joko Widodo itu.
Pemerintah, baik pihak Istana maupun menteri telah meluruskan rumor-rumor tersebut, salah satunya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro saat berkunjung ke Menara Kompas, Jakarta, Rabu (30/8/2019).
Berikut pernyataan-pernyataan pemerintah terkait isu miring perpindahan ibu kota negara ke Kaltim:
1. Protes dari organisasi internasional
Bambang mengakui, sempat ada peringatan dari organisasi dunia mengenai pemindahan ibu kota ke Kalimantan. Sebab, Pulau Kalimantan itu merupakan salah satu paru-paru dunia.
Namun, menurut Bambang, ada kesalahpahaman informasi yang diperoleh organisasi internasional mengenai lokasi yang akan dijadikan pusat pemerintahan itu.
"Mereka kan tahunya seolah-olah kita akan membangun di hutan lindung atau membangun yang rawan karhutla. Kan tidak," kata Bambang.
Menurut dia, pemerintah justru akan merehabilitasi kawasan yang rawan kebakaran hutan dan lahan.
Dalam membangun ibu kota baru, pemerintah akan menerapkan konsep forest city.
Baca juga: Bukit Soeharto Masuk Wilayah Ibu Kota Baru untuk Direhabilitasi
Mengenai Bukit Soeharto, Bambang mengatakan bahwa pemerintah sengaja memasukkan wilayah itu ke dalam area yang telah mereka patok sebagai ibu kota baru.
Namun, Bukit Soeharto akan direhabilitasi. Pemerintah menargetkan minimal 50 persen area pusat pemerintahan akan disulap menjadi ruang terbuka hijau.
"Kita antisipasi dengan itu supaya orang lingkungan tahu bahwa kita doing something dengan wilayah itu," kata Bambang.
2. Kaltim provinsi karhutla kedua terbesar
Salah satu alasan pemerintah memilih Kaltim sebagai lokasi ibu kota baru karena dianggap minim risiko bencana serta kebakaran hutan dan lahan.
Namun, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang enam bulan pertama 2019 menunjukkan bahwa Kalimantan menyumbang asap kebakaran hutan sebesar 12,4 persen atau sebesar 16.892 hektar.
Luas lahan terbakar tertinggi terjadi di Kalimantan Selatan seluas 4.670 hektar. Sementara itu, Kaltim berada di urutan kedua tertinggi dengan luas hutan yang terbakar mencapai 4.430 hektar.
Melihat fakta ini, Bambang mengatakan minim karhutla bukan berarti tidak ada sama sekali. Wilayah yang memiliki lahan terbuka atau hutan pun memiliki risiko terbakar dalam kondisi tertentu.
"Kaltim kan luas, luas sekali. Ada tapi sedikitlah. Kita cari wilayah yang paling minimal karhutlanya," kata Bambang.
Baca juga: Ibu Kota Baru Tidak Lepas dari Risiko Bencana, Ini Saran BNPB
Bambang mengatakan, fasilitas publik yang bersisian dengan lokasi ibu kota baru cenderung aman dari karhutla.
Selama ini, kata dia, bandara yang terdampak karhutla biasanya ada di Palangkaraya dan Pontianak, tidak sampai Samarinda dan Balikpapan yang mengapit ibu kota baru.
Bukit Soeharto memang pernah terbakar suatu waktu, tetapi sudah lama sekali terjadi.
"Minimal kan bukannya tidak ada. Tapi kita cari yang risikonya seminimal mungkin," kata Bambang.
Kaltim juga tidak termasuk enam provinsi siaga karhutla per Juni 2019 menurut BNPB.
3. Tuduhan kongkalingkong dengan swasta