JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Panja DPR dan pemerintah sepakat untuk tetap memasukkan ketentuan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Berdasarkan draf RKUHP per 28 Agustus 2019, terdapat lima pasal tindak pidana pokok (core crime) yang diadopsi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Mengacu pada ketentuan peralihan di RKUHP, dengan masuknya lima delik itu, pasal-pasal yang bersangkutan di UU Tipikor otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Namun, dari lima pasal yang diadopsi, tiga pasal di antaranya mengandung ancaman pidana penjara dan denda yang lebih ringan.
Baca juga: DPR Terbuka Soal Penghilangan Kata Penghinaan Agama dalam RUU KUHP
Pasal 604 RKUHP yang diadopsi dari Pasal 2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri mengandung ancaman penjara minimum yang lebih singkat, yakni dari empat tahun menjadi dua tahun.
Sanksi denda minimum juga diperingan, dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.
Selain itu, pidana mati untuk pelaku yang sebelumnya diatur dalam UU Tipikor juga ditiadakan.
Ketentuan lain yang diperingan yakni Pasal 605 yang diadopsi dari Pasal 3 UU Tipikor terkait denda untuk pelaku yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatan.
Ancaman denda minimum untuk pelaku di UU Tipikor yakni Rp 50 juta, sedangkan RKUHP juga menjadi lebih ringan yaitu Rp 10 juta.
Ada pula pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diadopsi dari Pasal 11 UU Tipikor mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji.
Baca juga: Rumusan Pasal Pidana Terhadap Agama dalam RUU KUHP Masih Dapat Berubah
Dalam RKUHP tertulis ancaman maksimal pidana penjara selama 4 tahun, sedangkan UU Tipikor mengatur ancaman maksimal pidana penjara yang lebih lama, yakni 5 tahun.
Begitu juga dengan sanksi denda di RKUHP yang lebih ringan, sebesar Rp 200 juta. Padahal, UU Tipikor menyatakan sanksi denda maksimal Rp 250 juta.
Terkait ancaman hukuman untuk pelaku korupsi yang lebih ringan, anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Nasir Djamil mengatakan, harus ada perubahan paradigma pemberantasan korupsi.
Menurut dia, seharusnya upaya pemberantasan korupsi fokus pada menyelamatkan uang negara ketimbang memperberat pidana penjara terhadap pelaku.
“Ke depan memang kita harus mengubah cara pandang bahwa korupsi ini kejahatan keuangan, pidana kurungan badan bukan yang utama, melainkan bagaimana uang yang sudah dirampok dikembalikan ke negara,” ujar Nasir saat dihubungi Kompas.com, Jumat (30/8/2019).
Baca juga: Pasal Agama dalam RUU KUHP Berpotensi Melegitimasi Diskriminasi dan Intoleransi
Selain itu, Nasir menegaskan bahwa pengaturan sejumlah delik tindak pidana korupsi tidak akan melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa nanti ada semacam pelemahan kewenangan,” ucap dia.
Adapun DPR menjadwalkan pengesahan RKUHP dalam rapat paripurna pada akhir September 2019. Menurut jadwal, rapat paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.