Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MA Kurangi Hukuman Patrialis Akbar Menjadi 7 Tahun Penjara

Kompas.com - 30/08/2019, 12:09 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) mengurangi hukuman mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menjadi 7 tahun penjara pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Hukuman ini lebih rendah dari putusan sebelumnya, yaitu 8 tahun penjara.

"Menjatuhkan pidana kepada Pemohon PK/Terpidana dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangan tertulis, Jumat (30/8/2019).

Patrialis merupakan terpidana kasus suap terkait impor daging.

Baca juga: Penyuap Patrialis Akbar, Basuki Hariman, Ajukan Upaya Hukum PK

Menurut majelis hakim PK, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas Patrialis tidak didukung dengan pertimbangan hukum yang konkret dan cukup sebagai alasan yang mendasari penentuan mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan.

Andi menjelaskan, dari fakta hukum persidangan, terungkap adanya keadaan yang relevan dan patut dipertimbangkan sebagai alasan untuk meringankan hukuman Patrialis. Namun, hal itu tidak dipertimbangkan dalam putusan tingkat pertama.

"Keadaan tersebut adalah pemohon PK hanya menerima uang sejumlah 10.000 dollar AS, yaitu separuh dari jumlah pemberian uang dari Basuki Hariman (pengusaha) sebesar 20.000 dollar AS melalui Kamaluddin (orang dekat Patrialis)," ujar Andi.

"Sisanya tidak diterima oleh pemohon PK, melainkan digunakan untuk kepentingan sendiri Kamaluddin dan uang untuk kepentingan main golf bersama Kamaluddin sebanyak Rp 4.043.195," lanjut dia.

Baca juga: Patrialis Akbar Disebut Terkait Suap untuk Bebaskan Mantan Bupati Kukar

Uang tersebut diberikan agar Patrialis membantu memenangkan putusan perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 terkait uji materi atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Terdakwa kasus dugaan suap daging impor beku Patrialis Akbar berjalan usai menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU di Gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/8/2017). Pada sidang tersebut mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dituntut hukuman 12,5 tahun penjara dan wajib membayar denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan di kasus suap jual beli putusan. Sementara Kamaludin selaku Direktur Spektra Selaras Bumi, dituntut hukuman delapan tahun penjara dan membayar denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan penjara. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/17.ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA Terdakwa kasus dugaan suap daging impor beku Patrialis Akbar berjalan usai menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU di Gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/8/2017). Pada sidang tersebut mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dituntut hukuman 12,5 tahun penjara dan wajib membayar denda Rp 500 juta subsidair enam bulan kurungan di kasus suap jual beli putusan. Sementara Kamaludin selaku Direktur Spektra Selaras Bumi, dituntut hukuman delapan tahun penjara dan membayar denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan penjara. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/17.
Kemudian, majelis hakim PK juga menilai tindak pidana korupsi yang dilakukan Patrialis tak lepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab. Sehingga, kadar kesalahan Patrialis memengaruhi putusan PK ini.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka alasan PK Pemohon, yaitu adanya suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan judex factie dapat dibenarkan. Sedangkan, alasan-alasan PK selebihnya mengenai adanya novum dan adanya pertentangan antara satu putusan dan putusan lainnya tidak dapat dibenarkan," ungkap dia.

Baca juga: Merasa Punya Bukti Baru, Patrialis Akbar Ajukan Permohonan PK

Dengan demikian, majelis hakim PK membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan mengadili kembali dengan mengabulkan permohonan PK Patrialis.

Selain itu, Patrialis wajib membayar uang pengganti sebesar 10.000 dollar AS dan Rp 4.043.195.

"Dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 4 bulan," kata Andi.

Menurut Andi, putusan PK tersebut telah dijatuhkan pada Selasa (27/8/2019) oleh majelis hakim PK yang diketuai oleh dirinya dan hakim anggota Sri Murwahyuni dan Leopold L Hutagalung.

 

Kompas TV Soal dugaan adanya keberadaan lahan milik keluarga Prabowo Subianto di lokasi yang akan menjadi ibu kota baru menjadi sorotan sejumlah kalangan termasuk dari jaringan advokasi tambang atau Jatam. Apa keuntungan dari pemilik lahan dari proses penentuan ibu kota baru, KompasTV akan mengulasnya bersama koordinator jaringan advokasi tambang atau Jatam Nasional Merah Johansyah lewat sambungan skype di Samarinda, Kalimantan Timur dan Wasekjen Partai Gerindra Andre Rosiade. #IbukotaBaru #PrabowoSubianto #JokoWidodo
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com