JAKARTA, KOMPAS.com - Baku tembak yang menewaskan seorang personel TNI Angkatan Darat dan melukai lima personel Polri di wilayah Deiyai, Papua, Rabu (28/8/2019), rupanya berawal dari aksi unjuk rasa mendorong referendum.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menjelaskan, aksi unjuk rasa itu digelar Rabu pagi di halaman Kantor Bupati Deiyai. Pesertanya hanya sekitar 150 orang.
"Mereka menuntut bupati menandatangani persetujuan referendum," ujar Dedi ketika ditemui di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Rabu sore.
Baca juga: Baku Tembak di Deiyai Papua, 1 TNI Tewas, 5 Polisi Terluka
Di sela tuntutan para demonstran, aparat kepolisian dan TNI sempat berhasil bernegosiasi dengan mereka.
Aparat nyaris berhasil membujuk massa untuk menghentikan aksi mereka.
Pada saat negosiasi masih berlangsung, Dedi mengatakan, sekitar seribu orang tiba-tiba datang ke lokasi dari segala penjuru. Mereka membawa senjata tajam, bahkan diduga membawa senjata api.
Pada saat itulah kontak tembak antara massa tersebut dengan aparat terjadi.
Dedi menyebut, massa yang tiba-tiba hadir itu diduga kuat merupakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Satu anggota TNI AD gugur dan ada tambahan lima anggota Polri terluka (akibat) panah," ujar Dedi.
Baca juga: Kontak Senjata di Papua Terjadi Saat Demo di Halaman Kantor Bupati Deiyai, Begini Kronologinya
Sementara, soal enam warga yang dikabarkan turut menjadi korban tewas, Dedi mengatakan, informasi itu belum dapat dikonfirmasi. Sebab, akses komunikasi di Papua sedang sulit.
"Info tersebut belum dapat diklarifikasi dan konfirmasi kebenarannya," ujar dia.
Hingga Rabu malam waktu setempat, aparat keamanan dan pemerintah daerah setempat berupaya maksimal untuk menjaga situasi agar kondusif.
Kapendam XVII Cenderawasih Letkol CPL Eko Daryanto, sebagaimana dilansir Antara, menyebut, anggota TNI AD yang meninggal bernama Serda Rikson. Ia meninggal karena tertembus anak panah.
Jenazah Serda Rikson saat ini dievakuai ke Nabire melalui jalan darat.