JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua DPR Setya Novanto mengaku pasrah dan menyerahkan sepenuhnya hasil upaya peninjauan kembali (PK) di tangan majelis hakim.
Setya Novanto merupakan terpidana kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik atau e-KTP.
"Kita gini aja, pokoknya yang penting, harapannya kita serahkan kepada pihak yang mulia," kata Novanto usai mengikuti agenda pembacaan permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2019).
Ia juga enggan mengungkapkan secara rinci alasan menempuh PK. Setya Novanto menyerahkan sepenuhnya kepada tim penasihat hukum yang dipimpin Maqdir Ismail
"(Alasannya) Pak Maqdir yang tahu," ujar dia.
Baca juga: Setya Novanto Ajukan PK Kasus E-KTP, Hari Ini Sidang Perdana di PN Jakpus
Sementara itu, pengacara Novanto, Maqdir Ismail menyatakan pihaknya menempuh PK dengan sejumlah pertimbangan. Misalnya, ada sejumlah keadaan baru atau novum.
Di persidangan, Maqdir memaparkan 5 novum yang terdiri dari 3 surat permohonan justice collaborator dari keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo.
Kemudian, rekening koran Bank OCBC Singapura North Branch nomor 503-146516-301 periode tanggal 1 Januari 2014 sampai 31 Januari 2014 atas nama Multicom Investment, Pte, Ltd. Perusahaan itu milik Anang Sugiana Sudihardjo.
Selanjutnya keterangan tertulis agen Biro Federal Investigasi AS, Jonathan Holden tanggal 9 November 2017 dalam perkara United States of America melawan 1485 Green Trees Road, Orono, Minnesota dan kawan-kawan.
"Soal pertimbangan, banyak pertentangan putusan dalam lima perkara ini (terdakwa-terdakwa sebelumnya). Soal kekhilafan hakim, kan putusan itu bahwa SN menerima sejumlah uang. Belum diketahui kalau memang betul ini yang dianggap terbukti, menerima uang ini bukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, karena itu pasal sendiri, menerima hadiah atau janji. Ini kan tidak didakwakan oleh KPK," kata Maqdir.
"Seharusnya ini karena kewenangan SN terkait pengadaan e-KTP, ini kan enggak ada. Beliau bukan anggota Komisi II, beliau tidak ada urusan dengan pengadaan," tambah Maqdir.
Novanto sebelumnya dianggap terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Mantan Ketua DPR ini divonis 15 tahun penjara dan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik. Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.
Apabila uang tersebut tidak dibayar setelah berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita atau dilelang.
Baca juga: Pengacara Setya Novanto Sampaikan 5 Novum dalam Sidang PK Kasus E-KTP
Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan, yakni mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Majelis hakim sepakat dengan jaksa KPK perihal penolakan permohonan justice collaborator yang diajukan terdakwa Setya Novanto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.