Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wapres: Kalau Ada yang Lebih Bersih, Kenapa Cari Orang Bermasalah...

Kompas.com - 28/08/2019, 09:51 WIB
Rakhmat Nur Hakim,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyetujui usulan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hendak memasukkan larangan pencalonan mantan koruptor dalam pilkada serentak 2020 ke dalam revisi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Menurut Kalla, fraksi-fraksi partai di DPR juga akan mengevaluasi UU Pilkada untuk menyempurnakannya.

Kalla menilai sudah semestinya masyarakat disuguhi calon pemimpin yang bersih dari kasus korupsi.

Baca juga: Perludem Sarankan Revisi UU Pilkada Terbatas untuk Atur Pencalonan Eks Koruptor

Dengan demikian, pemerintahan daerah bisa berjalan optimal untuk menyejahterakan masyarakat.

"Setidaknya kalau ada orang yang lebih bersih, kenapa mencari orang yang ada masalahnya," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Ia optimistis larangan tersebut bisa masuk dalam revisi UU Pilkada untuk diterapkan dalam pilkada serentak 2020.

"Ini kan Undang-Undang Pemilu (Pilkada). Saya kira tidak lama lagi akan banyak evaluasi dari partai partai," lanjut Kalla.

Baca juga: KPU: Aturan soal Larangan Eks Koruptor Nyalon di Tangan Pemerintah

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggulirkan wacana larangan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri di Pilkada 2020.

Pemicunya, ditetapkannya Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka korupsi.

Status tersangka yang disandangnya akhir pekan lalu berkaitan dengan dugaan suap dan gratifikasi jual beli jabatan.

Dulu, sebelum terpilih menjadi bupati untuk kedua kalinya, Tamzil mendekam di penjara atas kasus yang sama.

Baca juga: PDI-P: Tak Calonkan Napi Eks Koruptor Itu Standar Moralitas Partai

Menurut komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi, untuk kembali menggulirkan gagasan tersebut harus ada sejumlah hal yang dibenahi.

Jika tidak, sudah pasti Mahkamah Agung (MA) akan kembali menolak larangan eks koruptor maju sebagai peserta pemilu seperti yang terjadi pada 2018.

"Kalau misalnya KPU luncurkan, tuangkan dalam peraturan KPU (PKPU), kemudian nanti ada calon kepala daerah yang berstatus napi, lalu gugat ke MA, sudah bisa diduga (PKPU itu) dibatalkan. Itu kan problem real yang kita hadapi ke depan," ujar Pramono.

Baca juga: Komisi II DPR Dukung Eks Koruptor Dilarang Ikut Pilkada 2020, Tapi...

Pramono mengatakan, salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah revisi UU Pilkada atau setidaknya dukungan dari pihak-pihak terkait.

"Sekurang-kurangnya kalau KPU mengusulkan di peraturan KPU tentang pencalonan bupati, wali kota, dan gubernur, fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mendukung," kata Pramono.

"Dengan begitu, setidaknya dukungan politik dari pemerintah dan DPR, bahwa mereka tidak akan mencalonkan napi koruptor dalam Pilkada 2020 karena proses pencolanan dalam pilkada itu kan oleh DPP (partai)," ucap dia.

Kompas TV Indonesia Corruption Watch menilai tuntutan hukuman maksimal pencabutan hak politik dan perampasan aset koruptor jauh lebih efektif untuk menekan praktik korupsi dibanding hukuman mati. Sesuai undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hukuman mati dimungkinkan untuk dikenakan kepada koruptor dalam kondisi tertentu. Antara lain untuk korupsi yang terjadi saat bencana alam krisis moneter dan pengulangan praktik korupsi seperti kasus korupsi Bupati Kudus, M Tamzil. Namun demikian ICW menilai hukuman mati bagi koruptor belum tentu bisa memberikan efek jera bagi pelaku korupsi yang lain. Menurut peneliti ICW, Donald Fariz durasi hukuman maksimal pencabutan hak politik dan perampasan aset lebih efektif untuk menekan angka korupsi. #ICW #PerampasanHarta #Koruptor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com