Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Johar Arief

Produser Program Talk Show Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Wartawan dan saat ini produser program talk show Satu Meja The Forum dan Dua Arah di Kompas TV ? Satu Meja The Forum setiap Rabu pukul 20.00 WIB LIVE di Kompas TV ? Dua Arah setiap Senin pukul 22.00 WIB LIVE di Kompas TV

Kebiri Kimia, Benarkah Akan Memberi Efek Jera untuk Paedofil?

Kompas.com - 28/08/2019, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HUKUM kebiri kimia terhadap pelaku paedofil mendadak menjadi perdebatan hangat menyusul putusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap Muh Aris (20), pelaku pemerkosaan terhadap sembilan anak.

Muh Aris yang seorang tukang las dijatuhi hukuman penjara 12 tahun dan denda 100 juta rupiah subsider enam bulan kurungan dan hukuman kebiri kimiawi sebagai hukuman tambahan.

Hukuman ini dinyatakan inkrah oleh Pengadilan Tinggi Surabaya melalui putusan Nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tertanggal 18 Juli 2019.

Muh Aris menjadi pelaku kejahatan seksual pertama yang dijatuhkan hukuman kebiri kimiawi di Indonesia.

Meskipun telah menjadi putusan pengadilan, hukuman kebiri kimiawi yang dijatuhkan kepada Muh Aris mengundang polemik.

Baca juga: Sejarah Kebiri Manusia, Pelayan yang Dipercaya hingga Suara dari Surga

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi karena dinilai melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.

Kebiri kimia merupakan bentuk hukuman dan bukan pelayanan medis, sehingga tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.

"Kita tidak menentang Perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah (dilakukan) seorang dokter," kata Marsis, seperti diberitakan Kompas.com.

Berdasarkan Perppu No.1/2016, profesi dokter dikaitkan dengan eksekutor kebiri kimiawi.

Ikatan Dokter Indonesia juga menilai hukuman kebiri kimia tak menjamin hilangnya hasrat pelaku untuk mengulang perbuatannya.

Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia, dari Wacana, Pro Kontra, Terbitnya Perppu, hingga Vonis untuk Aris

 

Penolakan hukuman kebiri kimia juga disuarakan Komnas HAM yang menilai proses hukum di Indonesia akan mundur jika masih mengacu pada hukuman kebiri.

Di sisi lain, dukungan terhadap hukuman kebiri kimia disuarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan kalangan DPR.

Dijatuhkannya hukuman ini dinilai merupakan langkah maju yang akan memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual.

Polemik hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual akan dibahas mendalam pada talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (28/8), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

Bagaimana pelaksanaan hukuman kebiri kimia yang telah menjadi perintah pengadilan? Apakah hukuman ini benar-benar efektif memberi efek jera?

Ketiadaan peraturan teknis

Apa itu kebiri kimiawi?

Dalam ilmu kedokteran, kebiri adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan dorongan seksual dengan cara menghentikan fungsi testis (pada pria) sebagai penghasil hormon testosteron yang menimbulkan gairah seksual.

Tindakan ini bisa dilakukan melalui pembedahan dengan mengangkat testis (kebiri permanen) atau penyuntikkan bahan kimia (kebiri kimiawi) yang efeknya bersifat sementara.

Baca juga: Seperti Apa Kebiri Kimia?

Hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual tertuang dalam Pasal 81 dan 81A UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Undang-undang ini merupakan pengesahan atas Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016.

Saat itu, Perppu diterbitkan Presiden Jokowi sebagai respons atas menguatnya tuntutan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, di dalamnya termasuk pengebirian, menyusul kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan 14 orang terhadap seorang siswi SMP berusia 14 tahun di Bengkulu.

Perppu tersebut memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun.

Selain itu, Perppu juga menyebutkan tiga hukuman tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengungkapan identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Berdasarkan Pasal 81 A UU No 17/2016, pelaksanaan hukuman kebiri kimiawi dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani hukuman pokok.

Pelaksanaan hukuman ini harus diawasi secara berkala oleh kementerian di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.

Gelagapannya pelaksanaan hukuman kebiri kimia boleh jadi karena belum adanya peraturan teknis meskipun undang-undang yang mengatur hukuman ini telah disahkan sejak 2016 lalu.

Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) yang akan menjadi peraturan teknis hukuman kebiri.

Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPA, Nahar, mengatakan pihaknya sedang melakukan tahap harmonisasi yang melibatkan Kemenkes dan Kemensos.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Muhaimin Belum Punya Rencana Bertemu Prabowo Setelah Putusan MK

Muhaimin Belum Punya Rencana Bertemu Prabowo Setelah Putusan MK

Nasional
Muhaimin Bilang Anies Belum Punya Niat Kembali Berkontestasi di Pilkada 2024

Muhaimin Bilang Anies Belum Punya Niat Kembali Berkontestasi di Pilkada 2024

Nasional
PKB Buka Pendaftaran untuk Pilkada 2024, Selain Kader Juga Bisa Daftar

PKB Buka Pendaftaran untuk Pilkada 2024, Selain Kader Juga Bisa Daftar

Nasional
Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Menjelang Putusan Sengketa Pilpres di MK, Kubu Ganjar-Mahfud Harap Tak Berakhir Antiklimaks

Nasional
Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Nasional
MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Nasional
Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Nasional
Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Nasional
MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

Nasional
Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com