HUKUM kebiri kimia terhadap pelaku paedofil mendadak menjadi perdebatan hangat menyusul putusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap Muh Aris (20), pelaku pemerkosaan terhadap sembilan anak.
Muh Aris yang seorang tukang las dijatuhi hukuman penjara 12 tahun dan denda 100 juta rupiah subsider enam bulan kurungan dan hukuman kebiri kimiawi sebagai hukuman tambahan.
Hukuman ini dinyatakan inkrah oleh Pengadilan Tinggi Surabaya melalui putusan Nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY tertanggal 18 Juli 2019.
Muh Aris menjadi pelaku kejahatan seksual pertama yang dijatuhkan hukuman kebiri kimiawi di Indonesia.
Meskipun telah menjadi putusan pengadilan, hukuman kebiri kimiawi yang dijatuhkan kepada Muh Aris mengundang polemik.
Baca juga: Sejarah Kebiri Manusia, Pelayan yang Dipercaya hingga Suara dari Surga
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimiawi karena dinilai melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Kebiri kimia merupakan bentuk hukuman dan bukan pelayanan medis, sehingga tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.
"Kita tidak menentang Perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah (dilakukan) seorang dokter," kata Marsis, seperti diberitakan Kompas.com.
Berdasarkan Perppu No.1/2016, profesi dokter dikaitkan dengan eksekutor kebiri kimiawi.
Ikatan Dokter Indonesia juga menilai hukuman kebiri kimia tak menjamin hilangnya hasrat pelaku untuk mengulang perbuatannya.
Baca juga: Hukuman Kebiri Kimia, dari Wacana, Pro Kontra, Terbitnya Perppu, hingga Vonis untuk Aris
Penolakan hukuman kebiri kimia juga disuarakan Komnas HAM yang menilai proses hukum di Indonesia akan mundur jika masih mengacu pada hukuman kebiri.
Di sisi lain, dukungan terhadap hukuman kebiri kimia disuarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan kalangan DPR.
Dijatuhkannya hukuman ini dinilai merupakan langkah maju yang akan memberikan efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual.
Polemik hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual akan dibahas mendalam pada talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (28/8), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.
Bagaimana pelaksanaan hukuman kebiri kimia yang telah menjadi perintah pengadilan? Apakah hukuman ini benar-benar efektif memberi efek jera?
Apa itu kebiri kimiawi?
Dalam ilmu kedokteran, kebiri adalah tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan dorongan seksual dengan cara menghentikan fungsi testis (pada pria) sebagai penghasil hormon testosteron yang menimbulkan gairah seksual.
Tindakan ini bisa dilakukan melalui pembedahan dengan mengangkat testis (kebiri permanen) atau penyuntikkan bahan kimia (kebiri kimiawi) yang efeknya bersifat sementara.
Baca juga: Seperti Apa Kebiri Kimia?
Hukuman kebiri kimiawi bagi pelaku kekerasan seksual tertuang dalam Pasal 81 dan 81A UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
Undang-undang ini merupakan pengesahan atas Perppu yang diterbitkan Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016.
Saat itu, Perppu diterbitkan Presiden Jokowi sebagai respons atas menguatnya tuntutan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, di dalamnya termasuk pengebirian, menyusul kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan 14 orang terhadap seorang siswi SMP berusia 14 tahun di Bengkulu.
Perppu tersebut memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun.
Selain itu, Perppu juga menyebutkan tiga hukuman tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengungkapan identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Berdasarkan Pasal 81 A UU No 17/2016, pelaksanaan hukuman kebiri kimiawi dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani hukuman pokok.
Pelaksanaan hukuman ini harus diawasi secara berkala oleh kementerian di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
Gelagapannya pelaksanaan hukuman kebiri kimia boleh jadi karena belum adanya peraturan teknis meskipun undang-undang yang mengatur hukuman ini telah disahkan sejak 2016 lalu.
Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan pemerintah (PP) yang akan menjadi peraturan teknis hukuman kebiri.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPA, Nahar, mengatakan pihaknya sedang melakukan tahap harmonisasi yang melibatkan Kemenkes dan Kemensos.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.