JAKARTA, KOMPAS.com - Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023, Alexander Marwata, menyatakan, ada sejumlah isu yang mengemuka terkait upaya pelemahan terhadap komisi antirasuah.
Hal itu disampaikan Alex saat tes wawancara dan uji publik capim KPK di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
"Selama ini yang dikhawatirkan kan soal proses penyadapan yang dilakukan KPK namun harus seizin pengadilan," ujar Alex menanggapi pertanyaan dari anggota pansel, Hendardi.
Baca juga: Alexander Marwata: Saya Belum Berhasil sebagai Pimpinan KPK
Berdasarkan draf RUU Penyadapan per 2 Juli 2019, Pasal 5 mengatur tiga ketentuan pelaksanaan penyadapan.
Pertama, pelaksanaan penyadapan dilakukan berdasarkan ketentuan dan proses hukum yang adil, transparan, dan bertanggung jawab.
Kedua, penyadapan wajib memperoleh penetapan pengadilan. Dan ketiga, pelaksanaan penyadapan dikoordinasikan oleh Kejaksaan Agung dengan lembaga peradilan.
Baca juga: Pansel KPK di Tengah Kontroversi Capim yang Diduga Bermasalah
Kemudian Pasal 6 ayat (1) menyatakan, pelaksanaan penyadapan dilakukan pada tahap penyidikan dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Namun, dalam Pasal 6 ayat (3), dinyatakan bahwa seluruh ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pelaksanaan penyadapan yang dilakukan oleh KPK.
Menurut Alex, masih ada beberapa pihak yang tak sepakat dengan draf RUU penyadapan tersebut karena KPK menjadi instansi yang dikecualikan dalam penyadapan.
Baca juga: KPK Minta Pansel Capim Tak Reaktif dengan Masukan Publik
"Itu bentuk-bentuk pelemahanya yang saya pahami. Apalagi KPK kan selama ini juga menindak hakim-hakim dari kejaksaan yang melakukan korupsi, maupun kepolisian juga," paparnya kemudian.
Selain itu, seperti diungkapkan Alex, ada juga beberapa pihak yang masih memandang KPK sebagai lembaga ad hoc atau sementara.
"Kemudian soal masa KPK, ada yang masih melihat KPK itu lembaga ad hoc. Itu bentuk pelemahannya, padahal lembaga antikorupsi itu akan terus ada dan berkembang hingga ke daerah," tegasnya.