JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto menilai, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) keliru saat membatasi internet di wilayah Papua saat ada aksi unjuk rasa yang berujung ricuh pada pekan lalu.
Damar merujuk pada Siaran Pers Nomor 159/HM/KOMINFO/08/2019.
Dalam salah satu poin siaran pers itu disebutkan, pemblokiran layanan data di Papua dan Papua Barat masih berlanjut karena 33 konten serta 849 tautan konten hoaks dan provokatif terkait isu Papua disebarkan ke media sosial Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.
Baca juga: Dasar Hukum Kominfo soal Pembatasan Internet di Papua Dinilai Lemah
"Hoaks itu apa sih? Konten kan, tapi kan yang diblokir akses, jadi kalau yang dibatasi hoaks, ya kontennya sebetulnya. Caranya dengan apa? Ya cara-cara yang bisa dilakukan untuk membatasi si kontennya," kata Damar kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019).
Ia mengingatkan, internet memiliki peranan strategis dalam kehidupan manusia. Meski kerap digunakan sebagai alat menyebar hoaks dan provokasi, internet juga dimanfaatkan untuk mendukung aktivitas sehari-hari.
"Di Papua dan Papua Barat digunakan juga untuk mereka yang cari nafkah misalnya, ojek online, makanan. Belum mahasiswa yang sekolah butuh akses informasi, lalu kepentingan yang berkaitan dengan dokter, pasien di rumah sakit dan sebagainya. Jadi tolong dipahami, kalau kita mau membatasi kontennya jangan kemudian aksesnya diputus. Tapi diatasi konten tersebut," kata Damar.
Damar menilai, pembatasan akses internet tidak efektif. Hoaks dan provokasi bisa disampaikan lewat media lainnya, yaitu short message service (SMS).
Baca juga: Menkominfo Sebut Hoaks di Papua Menyebar Lewat SMS Saat Internet Dibatasi
Menkominfo Rudiantara, Sabtu kemarin mengaku, ia menerima SMS berantai yang isinya mengajak warga untuk berkumpul di Jayapura untuk menggelar aksi protes pada Jumat pagi.
"Saya menanggap begini kalau yang dimaksud Menteri oh dari sini pindah ke sini, pindah ke situ, apa kemudian itu diperluas? Setelah internet diblokir nanti SMS diblokir, apa seperti itu yang akan dilakukan? Lalu nanti pindah lagi ke mulut ke mulut apa kemudian semua mulut orang ditutup aksesnya? Kan enggak seperti itu," ujar Damar.
Ia teringat dengan komitmen pemerintah sebelumnya untuk mendorong literasi digital bagi masyarakat dalam melawan hoaks dan narasi provokatif di dunia maya. Damar menilai, justru langkah seperti itu patut digiatkan.
"Itu langkah lama tapi langkah yang sangat penting yang diharapkan bisa memberi bekal bagi masyarakat untuk melawan hoaks. Kenapa tiba-tiba pakai cara yang tidak mendidik seperti ini (akses internet dibatasi)," ujarnya.
Di tengah hoaks dan provokasi soal isu di Papua dan Papua Barat, akses internet diperlukan agar masyarakat luas bisa memeriksa ulang informasi yang diterima baik lewat SMS, media sosial dan sumber lainnya.
"Tapi caranya harus ada informasi yang dibuka, bagaimana masyarakat bisa melakukan verifikasi dari sesuatu yang ditutup seperti ini, justru itu yang terjadi akan susah sekali buat masyarakat kalau mau melakukan verifikasi atau menghindari hoaks kalau enggak ada sama sekali cara melakukan verifikasi," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.