JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah partai politik pertama yang getol menyuarakan amandemen terbatas UUD 1945.
Partai berlambang banteng hitam moncong putih ini ingin dalam amandemen itu, MPR kembali menjadi lembaga tertinggi sehingga dapat menyusun Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk dilaksanakan presiden beserta para pembantunya.
Usul ini bahkan diputuskan menjadi sikap resmi partai berlambang banteng dalam Kongres V PDI-P di Bali, Sabtu (10/8/2019).
"Kita memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana. Ini yang akan kami dialogkan bersama, tetapi sebagai keputusan kongres kami taat pada putusan itu," ujar Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui seusai kongres.
Baca juga: Amandemen UUD Bisa Jadi Bola Liar
Kendati MPR menjadi lembaga tertinggi negara, lanjut Hasto, partainya tidak merekomendasikan adanya perubahan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ia menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden harus tetap dipilih langsung oleh rakyat. Berbeda pada era Orde Baru di mana MPR merupakan lembaga tertinggi negara serta memiliki kewenangan memilih presiden dan wakil presiden.
"Kita tetap mengikuti rezim kedaulatan rakyat di mana rakyat berdaulat untuk menentukan pemimpinnya. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat," kata Hasto.
Hanya berselang sepekan setelah Kongres PDI-P di Bali digelar, pimpinan MPR sepakat untuk melakukan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terkait penerapan sistem perencanaan pembangunan nasional dengan menerapkan GBHN.
"Melalui pengkajian yang mendalam, fraksi-fraksi dan kelompok DPD di MPR telah bersepakat untuk mengembalikan wewenang MPR dalam menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, melalui perubahan terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ujar Zulkifli.
Baca juga: Ini Kritik Mahfud MD Terhadap Wacana Amandemen UUD 1945...
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menegaskan bahwa perubahan terbatas hanya terkait penerapan GBHN oleh MPR.
Terkait hal-hal di luar topik tersebut yang tertuang dalam pasal lain harus mengikuti proses amandemen dari awal.
"Hanya amandemen terbatas, khusus mengenai perlunya garis besar haluan negara dan ingat, garis besar itu bukannya teknis. Dia filosofis saja," ujar dia.
Zulkifli menegaskan, rekomendasi mengenai penerapan GBHN merupakan salah satu rekomendasi anggota MPR periode 2009-2014.
Kendati demikian, karena usul amandemen tidak dapat diajukan dalam waktu enam bulan menjelang berakhirnya masa jabatan, anggota MPR pada periode 2014-2019 merekomendasikan anggota periode berikutnya agar melakukan amandemen.
Artinya, sebenarnya ide amandemen bukanlah ide murni dari PDI Perjuangan semata.
Belakangan, Presiden Joko Widodo yang juga kader PDI-P angkat bicara mengenai persoalan ini.
Baca juga: Produk Pemilu Langsung, Jokowi Tolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi
Ia meragukan apakah amandemen UUD 1945 benar-benar hanya terbatas pada dibangkitkannya lagi GBHN. Sementara, dari sisi historis, GBHN tidak mungkin dihidupkan kembali apabila MPR tidak dijadikan lembaga tertinggi negara.
Menurut Jokowi, memunculkan kembali haluan negara mungkin cukup diperlukan. Namun sekali lagi ia ragu apakah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh para politisi Senayan nantinya hanya akan sebatas pada wacana itu.
"Apa nanti tidak melebar kemana mana? Karena saya sudah bicara dengan partai kok beda-beda," kata dia.
Baca juga: PAN Akui Penambahan Kursi MPR demi Amandemen UUD 1945
Jokowi pun menegaskan bahwa ia akan menjadi orang yang pertama kali menolak jika presiden dipilih kembali oleh MPR. Otomatis, ia menolak pula MPR ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara.
Jokowi ingin agar Presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat.
"Karena saya adalah produk dari pilihan langsung oleh rakyat," kata Jokowi.
Jokowi pun berharap wacana amandemen UUD 1945 yang muncul saat ini perlu dikaji lebih dalam terlebih dahulu. Jangan sampai amandemen ini menimbulkan goncangan politik yang tidak perlu.
"Karena sekarang tekanan ekonomi global, geo politik global tidak menguntungkan. Jangan sampai menambah masalah karena kita ingin memaksakan amandemen. Kajian mendalam sangat diperlukan," kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.