Rudiantara menegaskan, pihaknya tidak sembarangan menerapkan pembatasan akses internet. Pihaknya memiliki kalkulasi tersendiri kapan pembatasan dilakukan atau tidak dilakukan.
"Ada (hitungannya). Kami kan menghitung. Seperti pada 22 Mei kemarin, kami punya statistiknya. Kami kan tidak bisa suka-suka, begitu lo!" kata dia.
Baca juga: Jokowi: Pembatasan Internet di Papua untuk Kebaikan Kita Bersama
Pada aksi unjuk rasa di pusat Jakarta 22 Mei 2019 lalu yang juga berujung kerusuhan, aparat mengidentifikasi 600 tautan (URL) yang menyebarkan hoaks selama tiga hari berturut-turut.
"Hoaksnya bukan hanya kabar bohong, ada yang menghasut dan yang paling parah itu mengadu domba," kata dia.
Situasi seperti itu, kata dia, dapat menjadi celah pihak tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkannya dengan menghasut dan mengadu domba.
Agar hal yang sama tidak terjadi di Papua dan Papua Barat, maka berdasarkan pembahasan dengan aparat penegak hukum, pihaknya pun membatasinya.
Argumentasi pemerintah ini rupanya menuai pro dan kontra. Khususnya di kalangan pegiat HAM. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) salah satunya.
Mereka menilai bahwa pembatasan tersebut merugikan masyarakat Papua dan Papua Barat karena tidak bisa memperoleh informasi, pelayanan publik yang membutuhkan internet serta kebutuhan dasar lainnya.
Baca juga: Menkominfo Sebut Pembatasan Internet di Papua Telah Dibahas dengan Aparat
Bahkan, patut dicurigai pembatasan itu dilakukan untuk menutup=nutupi dugaan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.
"Jangan sampai penutupan akses internet ini menunjukkan adanya tekad pemerintah untuk menutup-tutupi kasus dugaan tindakan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua. Sejatinya pemerintah menunjukkan langkah konkret menghapus tindakan diskriminasi," ujar Febi Yonesta, salah satu perwakilan YLBHI saat konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019).
Salah satu jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) juga mengeluarkan petisi terkait langka pemerintah ini.
Petisi tersebut berisi agar pemerintah segera mengaktifkan kembali akses internet di Papua dan Papua Barat.
Baca juga: Kominfo Dinilai Keliru Identifikasi Hoaks soal Penangkapan Mahasiswa Papua
Pihak pemerintah yang disebut dalam petisi tersebut adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, serta Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara.
"Petisi ini akan menjadi salah satu jalan yang akan ditempuh untuk mengupayakan agar internet di Papua dan Papua Barat dinyalakan lagi secepatnya," kata Executive Director SAFEnet, Damar Juniarto dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (22/8/2019).
Petisi itu juga menyebutkan bahwa pembatasan akses internet itu sama dengan pembatasan akses informasi yang melanggar hak digital.
Terlebih, hak warga negara untuk mendapat dan mengakses informasi sudah diatur dalam pasal 19 ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Spili dan Politik).