JAKARTA, KOMPAS.com - Puncak akhir musim kemarau diperkirakan akan terjadi pada September 2019.
Pemerintah dan lembaga terkait perlu bersinergi dalam menekan titik api yang akan muncul sepanjang musim kemarau guna mencegah adanya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan, pemerintah berkomitmen mencegah titik kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga puncak musim kemarau tersebut.
"BMKG sudah memberikan peringatan bahwa puncak kemarau Agustus dan September 2019. Nah, kita lihat titik api juga fluktuatif. Artinya kita butuh keseriusan bersama menekan titik api sepanjang musim kemarau," ujar Wiranto dalam rapat koordinasi khusus tingkat menteri di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2019).
Hadir dalam rapat tersebut, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo.
Baca juga: Puncak Kemarau September, Wiranto Ajak Menteri Terkait Serius Tangani Karhutla
Kepala BNPB, Doni Monardo, menambahkan, seluruh pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan karhutla mesti bekerja bersama menekan peningkatan karhutla.
Sanksi yang tegas terhadap korporasi maupun individu yang sengaja membakar lahan juga diperlukan.
"Kita dorong korporasi atau masyarakat yang lahannya punya titik api dan sudah diperingatkan pemerintah, mohon segera melaksanakan peringatan itu. Kita juga harapkan ada sanksi tegas kepada pihak yang sengaja membakar lahan, bahkan mencabut izin kepemilikan lahannya," tutur Doni.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sepanjang Januari 2019 hingga Juli 2019, ada 135.747 hektar hutan dan lahan yang terbakar.
Baca juga: Pemadaman Karhutla di Ketapang Terkendala Tanah Gambut dan Sumber Air
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi lokasi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan terluas yakni 71.712 hektar.
Berikutnya, tiga provinsi lain, yaitu Riau, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Riau seluas 30.065, Kalimantan Selatan 4.670 hektar, dan Kalimantan Timur 4.430 hektar.
Pihak KLHK pun sudah mengirim surat peringatan kepada 110 perusahaan yang lahannya terindikasi terjadi kebakaran.
Sebanyak 110 perusahaan itu terdiri dari, 48 perusahaan di Kalimantan Barat, 7 perusahaan di Kalimantan Tengah, 5 perusahaan di Kalimantan Timur dan 2 perusahaan di Kalimantan Utara.
Kemudian 32 perusahaan di Riau, 3 perusahaan di Kepulauan Bangka Belitung, 2 perusahaan di Aceh, 2 perusahaan di Lampung, 2 perusahaan di Sumatera Selatan dan 4 perusahaan yang masing-masing berada di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan Jambi.
Di luar Pulau Kalimantan dan Sumatera, terdapat pula 3 perusahaan yang dikirimkan surat peringatan, yakni Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Baca juga: Cegah Karhutla Meluas, KLHK Kirim Surat Peringatan ke 110 Perusahaan
Terkait itu, Wiranto menyatakan, pemerintah sudah melakukan sejumlah cara untuk memadamkan lahan yang terbakar, contohnya dengan penggunaan 37 pesawat helikopter water bombing dan hujan buatan.
"Pemerintah telah mengerahkan 37 pesawat heli untuk water bombing. Selain itu, hujan buatan juga dilakukan, namun itu tergantung dengan kondisi cuaca juga," tutur dia.
Apabila seluruh upaya ini masih juga tidak membuahkan hasil, maka karhutla diyakini akan tambah meluas.
Di sisi lain, penanganan karhutla yang terjadi di Indonesia hingga saat ini juga membutuhkan pendanaan yang besar, khususnya untuk dana insentif kepada personel gabungan karhutla.
Baca juga: Wiranto Sebut Penanganan Karhutla Membutuhkan Dana yang Besar
Personel yang ada di lapangan saat ini, lanjut Wiranto, sudah mencapai 30.000-an orang. Sedangkan untuk biaya satu personel diberikan dana Rp 145 ribu dalam sehari.
"23 ribu personel (yang kita libatkan). (Personel) BNPB saja sembilan ribu karena di lapangan sehari segitu biayanya, ini biayanya besar ya," imbuh dia.
Mantan Panglima ABRI itu berharap kasus karhutla cepat teratasi agar negara tidak mengeluarkan dana yang besar. Meski, jika memang harus mengeluarkan untuk memberikan intensif kepada personel, ia menilai kondisi saat ini pantas untuk menggunakan biaya tanggap darurat.
"Ini penting karena tadi disampaikan bahwa untuk memberi gaji insentif kepada personel, dibutuhkan biaya tanggap darurat untuk penanggulangan karhutla," lanjut Wiranto.
Selain penanganan karhutla yang dilakukan oleh pemerintah pusat, Wiranto juga meminta jajaran pemerintah daerah terlibat aktif. Ia menyebut, hal itu sesuai dengan arahan dari Presiden Joko Widodo.
Wiranto juga menekankan aparat penegak hukum untuk bisa menindak tegas para pelaku karhutla. Ia mengaku mendapat laporan adanya unsur penegak hukum yang tidak bertindak tegas dalam menangani masalah karhutla.
"Kita ada laporan bahwa penegakkan hukum kurang keras, kurang tegas untuk memberantas pembakar-pembakar hutan yang liar itu," tegasnya.
Berdasarkan data KLHK, sudah ada 19 lahan yang disegel terkait karhutla. 19 lahan itu terdiri dari 18 milik korporasi, dan 1 milik perseorangan.
Baca juga: KLHK Segel 2.909 Hektare Lahan Terkait Karhutla
Penyegelan dilakukan pada rentang waktu 3 hingga 15 Agustus 2019.
Adapun luas total lahan terbakar yang disegel seluas 2.909 hektare. Sebanyak 18 perusahaan yang lahannya disegel, yakni PT GSM, RA, MAS, HBL, TANS, SRL, MSAS, SP, MSL, GKM, UKIJ, DI, SSS, BPLS, IFP, DAS, PLD, dan SUM.
Perusahaan-perusahaan tersebut tersebar di lima provinsi, yakni 10 perusahaan di Kalimantan Barat, 3 perusahaan di Kalimantan Tengah, 3 perusahaan di Riau dan 1 perusahaan masing-masing berada di Sumatera Selatan dan Jambi.
Lebih lanjut, Wiranto menuturkan, Kapolda terkait yang dinilai lalai menangani permasalahan karhutla pun bisa dicopot dari jabatannya.
"Bahkan Kapolda sudah disampaikan bahwa hati-hati kalau tidak bisa mengatasi ini akan dicopot. Ini saya ulangi lagi kan agar segera berkoordinasi mengaktifkan semua sumber daya yang ada di sana untuk menanggulangi api itu," tegas Wiranto.