KOMPAS.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengimbau segenap media memberitakan peristiwa pengepungan organisasi massa Papua dengan mengedepankan jurnalisme damai.
Hal itu disampaikan oleh Ketua AJI Indonesia Abdul Manan pada Selasa (20/8/2019) melalui sebuah keterangan tertulis.
Imbauan ini disampaikan, karena terdapat sejumlah media menggunakan diksi-diksi yang menyudutkan pihak tertentu dalam pemberitaannya, khususnya kelompok masyarakat Papua.
Selain diksi, media juga kerap mengangkat sebuah berita hanya hanya dari satu pihak yang terlibat (tidak berimbang), bahkan tanpa menggunakan konfirmasi apapun.
Terdapat 3 hal mendasar yang ditekankan oleh AJI kepada media massa dan jurnalistik.
Baca juga: Wakil Wali Kota Malang Bantah Serukan Pemulangan Mahasiswa Papua
Pertama, AJI menyerukan penerapan jurnalistik damai. Hal ini perlu dilakukan sehingga tidak memperparah kondisi yang sedang terjadi konflik.
Penyampaian jurnalisme yang semacam ini bukan berarti menumpulkan fokus dan menghilangkan fakta-fakta di lapangan. Sebaliknya tetap menyajikan fakta lapangan namun menurunkan konflik yang terjadi.
"Jurnalisme damai tak berpretensi untuk menghilangkan fakta. Tapi yang lebih diutamakan adalah memilih atau menonjolkan fakta yang bisa mendorong turunnya tensi konflik dan ditemukannya penyelesaiannya secara segera," kata Manan.
Para pewarta berita bekerja di bawah aturan yang mengikat tidak secara hukum, namun nilai, yakni kode etik jurnalistik (KEJ).
Dalam hal ini etika yang dimaksud adalah tidak diperkenankan memberitakan sesuatu berdasarkan diskriminasi ras, sebagaimana tertulis dalam pasal 8 KEJ.
"Dalam membuat berita juga hendaknya jangan mengesankan membenarkan tindakan yang rasis itu, baik oleh ormas mauapun aparat keamanan," ujar Manan.