JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla angkat bicara soal kericuhan di Manokwari, Papua.
Keduanya sama-sama mengimbau agar masyarakat Papua bisa bersabar dan menahan diri atas insiden persekusi dan rasisme yang terjadi di Surabaya dan Malang.
Namun, Wapres Kalla sekaligus meminta aparat keamanan untuk menjelaskan secara terbuka akar masalah yang terjadi.
Presiden Jokowi memberi pernyataan relatif singkat, yakni hanya 1 menit 10 detik.
Kepala Negara pun meminta masyarakat Papua memaafkan pihak-pihak yang telah membuat mereka terluka hatinya.
"Jadi, saudara-saudaraku. Pace, mace, mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa dan setanah air, yang paling baik adalah saling memaafkan," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (19/8/2019).
Baca juga: VIDEO Pernyataan Jokowi soal Kerusuhan di Manokwari
"Emosi itu boleh, tetapi memaafkan itu lebih baik. Sabar itu juga lebih baik," ujar dia.
Jokowi memastikan, pemerintah akan terus menjaga kehormatan dan kesejahteraan seluruh masyarakat Papua dan Papua Barat.
Namun, saat ditanya terkait proses hukum terhadap pihak-pihak yang telah memicu kemarahan masyarakat Papua, Jokowi enggan berkomentar lebih jauh.
"Ya, cukup," kata Jokowi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta masyarakat tidak memperluas kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Papua Barat. Ia meminta masyarakat kembali ke rumah masing-masing.
Sejatinya, masyarakat Papua dan pendatang di sana bersaudara. Masyarakat Papua dan pendatang dari luar saling membutuhkan.
"Pendatang itu umumnya pengusaha eceran di pasar, atau tukang-tukang, guru. Semuanya di situ datang justru untuk bekerja sama dan melayani juga seluruh masyarakat," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Senin.
"Bahwa mereka (pendatang) khawatir, pastilah. Sejauh yang saya baca, mengikuti, juga tidak ada masalah dengan mereka," ucap Kalla.
Baca juga: Wapres: Masyarakat Papua dan Pendatang Saling Butuh, Jangan Perluas Kerusuhan
Kalla pun meminta polisi dan kepala daerah terkait menjelaskan kejadian tersebut secara gamblang. Dengan demikian, masyarakat justru tidak berasumsi berdasarkan berita hoaks.
"Tentu kita prihatin dan menyesalkan kejadian-kejadian yang terakhir itu. Semua akibat saja. Apa yang terjadi di Surabaya, di Malang, itu tentu perlu dijelaskan secara terbuka, diklarifikasi," ujar Wapres.
"Di Papua itu hanya ingin minta klarifikasi dan minta maaflah. Tapi harus klarifikasi apa yang terjadi karena ini sebuah akibat. Kita perlu saling menghargailah. Tapi juga kalau ada masalah yang serius, yang terjadi kemarin di Surabaya, jelaskan saja secara terbuka apa yang terjadi," lanjut dia.
Kerusuhan di Manokwari diawali dengan warga yang menggelar aksi dengan membakar ban bekas dan meletakkan pohon di sejumlah ruas jalan di dalam kota Manokwari, Senin (19/8/2019) pagi.
Aksi tersebut berlangsung anarkistis setelah massa mulai melemparkan pecahan botol dan merobohkan papan reklame serta traffic light di pinggir Jalan Yos Sudarso.
Baca juga: Kerusuhan Manokwari dan Duduk Persoalannya...
Bahkan, kantor DPRD Papua Barat pun ikut menjadi sasaran amuk warga dengan dibakar.
Tidak hanya itu, massa juga melakukan pelemparan terhadap Kapolda Papua Barat dan Pangdam XVIII/Kasuari yang datang untuk menenangkan massa.
Untuk menghentikan aksi anarkistis tersebut, polisi terpaksa menembakkan gas air mata.
Demonstrasi yang berujung kerusuhan ini berawal dari penangkapan 43 mahasiswa Papua di Surabaya.
Sebelum ada penangkapan, terjadi bentrok antara mahasiswa Papua dan organisasi masyarakat di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019).
Baca juga: Khofifah, Risma hingga Wali Kota Malang Minta Maaf soal Pemicu Kerusuhan di Manokwari Papua
Bentrok itu sendiri dipicu informasi yang beredar soal adanya mahasiswa Papua yang merusak dan membuang bendera Merah Putih ke selokan. Namun, pihak mahasiswa membantah informasi itu.
Pihak kepolisian juga sampai saat ini belum menetapkan satu pun tersangka pelaku perusakan bendera. Sebanyak 43 mahasiswa Papua yang semula ditangkap kini sudah dibebaskan.
Dari serangkaian peristiwa di Surabaya itu, mahasiswa Papua merasa menjadi korban persekusi, diskriminasi, bahkan rasisme. Hal inilah yang memicu kemarahan masyarakat di Papua.