Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Wajib Bayar Rp 3,9 Triliun ke Korban Kerusuhan Maluku 1999

Kompas.com - 19/08/2019, 07:23 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) pemerintah terkait gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) yang diajukan korban kerusuhan Maluku pada 1999.

Artinya, pemerintah harus menjalankan perintah putusan pengadilan tingkat pertama, yakni memberikan ganti rugi sebesar Rp 3,9 triliun kepada korban kerusuhan sebagai penggugat.

"Ditolak oleh MA oleh karena alasan-alasan yang diajukan oleh pemerintah dalam PK dalam gugatan class action tidak beralasan menurut hukum. Dengan keputusan itu, keputusan kasasi tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dihubungi Kompas.com, Senin (19/8/2019).

Baca juga: Pengungsi Kerusuhan Maluku 1999 Datangi Syukuran Rakyat

MA akan segera mengirimkan berkas putusan PK majelis hakim MA kepada pengadilan pengaju atau tempat perkara pertama diproses, dalam hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ia mengatakan, PN Jakarta Pusat selanjutnya akan menyampaikan hasil PK tersebut kepada pihak yang beperkara.

"Nanti pengadilan pengaju yang memberikan atau menyampaikan keputusan kepada pihak-pihak yang berperkara, baik kepada pemohon maupun kepada termohon hasil PK," ujar dia.

Ia menambahkan, saat ini berkas putusan PK tersebut belum dapat diakses di situs resmi MA karena masih dirapikan oleh majelis hakim.

"Itu belum masuk (website resmi MA), sedang dirapikan putusannya oleh Pak Rahmadi (hakim ketua)," ujar dia.

Baca juga: Konflik Maluku Tengah Kesepakatan Damai Belum Final

Kronologi

Gugatan korban kerusuhan Maluku pada 1999 itu dilayangkan pada 2011.

Salah seorang korban kerusuhan bernama Hibani beserta Anggada Lamani, Malia, dan Arif Lamina mengajukan gugatan class action ke pemerintah lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mereka mewakili 213.217 kepala keluarga korban kerusuhan Maluku 1999.

Para perwakilan korban kerusuhan itu menggugat 11 petinggi negara, yaitu Presiden RI, Menko Kesra, Mensos, Menko Perekonomian, Menteri Bappenas, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Gubernur Maluku, Gubernur Maluku Utara, dan perwakilan Pemda Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara.

Gugatan para korban kerusuhan dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat pada 18 Desember 2012 dengan perkara bernomor 318/Pdt.G.Class Action/2011/PN Jkt.Pst.

Menurut majelis hakim, pemerintah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, dengan pertimbangan pemerintah telah lalai dalam menjalankan kewajiban memberi bantuan kepada korban kerusuhan.

Pemerintah dan jajarannya wajib memberikan ganti rugi hingga Rp 3,9 triliun. Rinciannya, uang bahan bangunan rumah (BBR) sebesar Rp 15 juta ditambah uang tunai sebesar Rp 3,5 juta untuk masing-masing pengungsi sebanyak 213.217 kepala keluarga, kecuali bagi mereka yang melakukan pilihan keluar (option out) dari proses gugatan kelompok ini.

Baca juga: Penyelesaian Konflik Maluku Bisa Jadi Pembelajaran Bangsa Lain

Berdasarkan fakta sidang, pemerintah tidak memberikan bantuan sesuai dengan yang dijanjikan, yakni dana bantuan perumahan sebesar Rp 15 juta.

Para korban kerusuhan mengaku hanya mendapatkan bantuan sebesar Rp 3,5 juta sampai Rp 10 juta.

Tidak puas dengan putusan PN Jakarta Pusat, pemerintah sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dengan nomor perkara 116/PDT/2015/PT DKI pada tanggal 11 Mei 2015.

Namun, upaya pemerintah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama gagal. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta justru menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.

Kemudian, pihak pemerintah mengajukan kasasi ke MA dengan nomor perkara 1950 K/PDT/2016.

Baca juga: Serunya Anak-anak Suku Terasing Mausu Ane di Maluku Rayakan HUT RI...

MA pun menolak kasasi tersebut dan meminta pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada korban kerusuhan Maluku 1999 sesuai dengan hasil putusan pengadilan pertama.

Pemerintah kemudian mengajukan PK terhadap putusan kasasi tersebut pada tanggal 20 Mei 2019.

Namun, Menurut Andi, PK dengan nomor perkara 451 PK/PDT/2019 telah ditolak oleh majelis hakim pada 31 Juli 2019 dengan ketua hakim Takdir Rahmadi.

"Tolak," bunyi amar putusan MA sebagaimana dilihat Kompas.com, Minggu (18/8/2019).

 

Kompas TV Ketua MPR Zulkifli Hasan menegaskan rencana amendemen terbatas UUD 1945 hanya berkaitan dengan GBHN dan tidak mengarah ke pasal-pasal lain termasuk kekhawatiran Presiden dipilih oleh MPR. Menurutnya, usulan amendemen terbatas (Undang-Undang Dasar) UUD 1945 harus melalui proses yang panjang. Zulkifli mengatakan MPR periode 2014-2019 akan menyerahkan buku kepada periode 2019-2024 yang berisi rekomendasi tentang GBHN. Menurutnya, rekomendasi itu perlu dibahas MPR periode berikutnya. #MPR #ZulkifliHasan #GBHN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Lantik Sekjen Wantannas, Menko Polhukam Hadi Ingatkan Situasi Keamanan Dunia yang Tidak Pasti

Nasional
Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Dudung Abdurahman Datangi Rumah Prabowo Malam-malam, Mengaku Hanya Makan Bareng

Nasional
Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Idrus Marham Sebut Jokowi-Gibran ke Golkar Tinggal Tunggu Peresmian

Nasional
Logo dan Tema Hardiknas 2024

Logo dan Tema Hardiknas 2024

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, Nasib Koalisi Perubahan di Ujung Tanduk

Nasional
PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

PKS Undang Prabowo ke Markasnya, Siap Beri Karpet Merah

Nasional
Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Selain Nasdem, PKB Juga Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

BRIN Bahas Pengembangan Satelit untuk Waspadai Permasalahan Keamanan Antariksa

Nasional
Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasdem dukung Prabowo-Gibran, Golkar Tak Khawatir Jatah Menteri Berkurang

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

GASPOL! Hari Ini: Hasto Kristiyanto dan Hadirnya Negara Kekuasaan

Nasional
Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Nasional
5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com