JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut, mengusulkan penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945 sama dengan membuka kotak pandora.
Jika wacana ini direalisasikan satu kali, bukan tidak mungkin ke depannya UUD akan diamandemen lagi. Usulan ini juga akan melahirkan wacana-wacana lainnya.
"Sekali peluang amendemen ini dibuka, ini seperti kotak pandora, ini bisa lanjut seperti dulu lagi setiap tahun ada amendemen," kata Bivitri dalam diskusi 'Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuas' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
Baca juga: Wapres Kalla Setuju GBHN Dihidupkan Kembali, Tapi...
Bivitri mengatakan, penghidupan kembali GBHN akan berimplikasi pada ditetapkannya kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara tertinggi.
Bisa jadi, ke depannya Presiden tidak lagi dpilih rakyat, tetapi kembali ditunjuk MPR. Bukan tidak mungkin pula, adanya GBHN akan menghidupkan kembali aturan tentang Presiden seumur hidup.
Bivitri menilai, penghidupan kembali GBHN saat ini tidak relevan dengan sistem ketatanegaraan.
Baca juga: Menkuham Sebut Partai-partai Sepakat Amandemen UUD Terbatas pada GBHN
Pasalnya, pada era orde baru dulu GBHN dibuat untuk mengontrol kinerja Presiden.
Saat itu, Presiden dipilih oleh MPR sehingga secara tidak langsung GBHN menjadi alat kontrol dari MPR kepada Presiden.
Namun sekarang, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, Presiden tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada MPR.
"Intinya haknya ada di kita, bukan MPR. Jadi (kalau GBHN dihidupkan) mandat apa yang harus diberikan MPR?," kata Bivitri.
Baca juga: Mendagri Sepakat GBHN Dihidupkan Kembali
Menurut Bivitri, jika GBHN dihidupkan kembali, diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Padahal, bicara haluan negara tidak hanya soal GBHN saja.
Selama ini Indonesia sudah punya haluan negara dan pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM).
"Pertanyaan kritisnya, kalau (GBHN) cuma ada, gunanya apa? Kalau cuma sekedar ada tapi padahal cost politiknya besar," katanya.
Baca juga: Kinerja Belum Efektif, MPR Minta Kewenangan Buat GBHN Dikembalikan
Usul supaya GBHN dihidupkan kembali salah satunya dilontarkan PDI Perjuangan. Dalam Kongres V di Bali, Sabtu (10/8/2019) lalu, PDI-P merekomendasikan amandemen terbatas 1945.
Dalam amandemen itu, menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, MPR memiliki wewenang dalam menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
"Kita memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana," kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui seusai kongres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.