Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Hukum Tata Negara: Amandemen UUD 1945 Bukan Datang dari Rakyat

Kompas.com - 14/08/2019, 16:45 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mempertanyakan urgensi penghidupan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amandemen terbatas UUD 1945.

Menurut dia, usulan ini muncul secara tiba-tiba dari kalangan partai politik saja. Padahal, peristiwa amandemen UUD 1945 terdahulu dilakukan berdasarkan tuntutan rakyat, bukan kepentingan partai politik.

"Dulu '97 dan '98, salah satu tuntutan mahasiswa dan banyaknya elemen rakyat salah satunya amendemen konstitusi. Jadi ada tuntutan dari rakyat untuk amendemen," kata Bivitri dalam diskusi bertajuk 'Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).

Bivitri mengatakan, apabila UUD 1945 saat ini hendak diamandemen, sudah seharusnya didasarkan padakepentingan rakyat.

Baca juga: Ini Kritik Mahfud MD Terhadap Wacana Amandemen UUD 1945...

Tidak hanya itu, amandemen seharusnya memberikan implikasi konkret bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, melihat usulan amandemen UUD 45 yang muncul belakangan, Bivitri tidak melihat bakal ada implikasi yang besar jika GBHN dihidupkan kembali saat ini.

Sebab, pada era Orde Baru, GBHN diberlakukan untuk mengontrol kinerja Presiden. Saat itu, Presiden dipilih oleh MPR sehingga secara tidak langsung GBHN menjadi alat kontrol dari MPR kepada Presiden.

Namun sekarang, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, Presiden tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada MPR.

"Ada beberapa artikel yang mencoba menjustifikasi GBHN mengatakan, iya GBHN tetap ada. Tapi GBHN tetap tidak bisa menjatuhkan presiden, tapi presiden tetap dipilih rakyat. Intinya ingin menjustifikasi GBHN sebagai dokumen ada," kata Bivitri.

"Pertanyaan kritisnya, kalau (GBHN) cuma ada, gunanya apa?," lanjut Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.

Baca juga: Wacana Kembali ke UUD 1945 dan Mengingat Lagi Alasan Perlunya Amandemen

Bivitri menegaskan, karena tidak diusulkan langsung oleh rakyat dan tidak membawa dampak besar, ia menolak penghidupan kembali GBHN melalui amandemen terbatas UUD 45.

"Saya katakan tidak, saya tidak setuju dengan ide amendemen ini," tegas dia.

Diberitakan sebelumnya, wacana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN mencuat. Hal itu diperkuat dengan rekomendasi Kongres V PDI Perjuangan yang juga sepakat untuk menghidupkan kembali GBHN.

Meski demikian, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengklarifikasi bahwa amandemen terbatas UUD 1945 itu bukan murni inisiatif partainya.

Dalam Kongres V, PDI-P memang merekomendasikan agar dilakukan amandemen terbatas UUD 1945. Namun, hal tersebut bukan berarti ide dari PDI-P.

"Kongres PDI-P yang merekomendasikan MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati oleh pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI. Jadi, bukan maunya PDI-P. Ini perlu diluruskan," kata Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).

Baca juga: Ahmad Basarah Klarifikasi, Amandemen UUD 1945 Bukan Maunya PDI-P

Basarah mengingatkan, amandemen UUD 1945 sudah lama diinginkan MPR. Namun dalam periode pembahasan yang terakhir kali, panitia ad hoc tidak dapat melanjutkannya sehingga kajian amandemen diserahkan kepada badan kajian MPR RI alias tidak dilanjutkan.

Adapun pimpinan MPR RI periode saat ini akan habis masa jabatannya beberapa bulan lagi. Rekomendasi PDI-P ini bersifat saran kepada pimpinan MPR periode mendatang.

"Rekomendasi (PDI-P) sifatnya hanya saran karena tidak ada sistem carry over dalam sistem ketatanegaraan kita di Parlemen. Karena periode ini berakhir 30 september, ya sudah selesai. MPR periode berikutnya tergantung putusan politik yang baru terpilih oleh pileg 2019," ujar dia. 

 

Kompas TV Tidak lagi delapan ada wacana pimpinan MPR berjumlah 10 yakni 9 parpol yang lolos ke DPR dan 1 dari Dewan Perwakilan Daerah. Usulan ini dimunculkan Wakil Sekjen PAN Saleh Daulay dengan pertimbangan untuk mengakomodasi kepentingan semua fraksi di DPR dan kepentingan DPD. Menurut Saleh penambahan pimpinan MPR ini tidak perlu dipersoalkan. Usulan PAN untuk menambah kursi pimpinan MPR menjadi 10 orang mendapat respons positif dari Partai Gerindra. Walau usulan ini harus mengamendemen UUD 1945 Gerindra tidak menolak jika wacana penambahan kursi pimpinan MPR dapat mengakomodasi kepentingan rakyat. Perebutan kursi pimpinan MPR kembali memanas. Isu penambahan kursi pimpinan MPR menjadi 10 kursi pun mencuat. Argumentasi penambahan 10 kursi pimpinan MPR adalah untuk mengakomodasi kepentingan semua fraksi di DPR dan kepentingan DPD. Apakah penambahan ini memang untuk mengakomodasi atau hanya sebatas bagi bagi kursi kekuasaan? Kita akan bahas bersama Faldo Maldini Wasekjen Partai Amanat Nasional, Hendrawan Supratikno Politisi PDI-P dan Ray Rangkuti analis politik Lingkar Madani. #KursiPimpinanMPR #PAN #PDIP
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

UU DKJ Disahkan, Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Langsung Rakyat

UU DKJ Disahkan, Gubernur Jakarta Tetap Dipilih Langsung Rakyat

Nasional
THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

Nasional
Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Nasional
Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Nasional
Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Nasional
UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang 'DKI'

UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang "DKI"

Nasional
Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Nasional
Puan Sebut Antarfraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Puan Sebut Antarfraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Nasional
Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Nasional
Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Nasional
Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Nasional
KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

Nasional
Bos Freeport Wanti-wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Bos Freeport Wanti-wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com