JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berpendapat, amandemen UUD 1945 boleh saja dilaksanakan. Namun ia mengingatkan agar hasil amandemen itu dilaksanakan secara konsisten demi kepastian hukum.
"Kalau besok (UUD 1945) diamandemen, ya hati-hati saja, besoknya akan ada yang protes untuk diubah lagi. Menurut saya ya harus lebih konsisten. Sebagai ahli hukum tata negara, diamandemen boleh, tidak juga boleh," ujar Mahfud saat ditemui di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Cipulir, Jakarta Selatan, Rabu (14/8/2019).
"(Jika diamandemen), bagaimana cara amandemennya? Apa konsekuensinya? Karena itu bagian dari hukum tata negara," lanjut dia.
Mahfud setuju apabila amandemen UUD 1945 hanya ditujukan untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan adanya GBHN, pembangunan antara pusat dan daerah diharapkan tidak tumpang tindih.
Baca juga: PDI-P Usul Amandemen Terbatas UUD 1945 agar MPR Jadi Lembaga Tertinggi
Hanya saja, Mahfud meminta supaya MPR mengkaji lebih dalam kembali mengenai dampak amandemen terbatas UUD 1945 terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Pasalnya, UUD 1945 sudah diamandemen berkali-kali dan setiap amandemen menuai dampak bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia.
"Saya mengimbau ke kita semua, terutama para pengambil keputusan. Berdasarkan sejarah bangsa Indonesia, setiap UUD yang diundangkan itu selalu diprotes untuk diubah. Tahun 1945 diundangkan, Oktober diubah dengan Maklumat X tahun 1945. Sudah itu diubah lagi tahun 1949, diprotes ini jelek, diubah dengan UUDS 1950," ujar Mahfud.
"Diubah kembali ke UUD 1945, katanya jelek pelaksanaannya zaman Orde Lama dan Orde Baru kemudian diamendemen. Mau diubah lagi. Nah ini kalau besok diubah ya hati-hati saja, besoknya akan ada yang protes diubah lagi. Menurut saya harus lebih konsisten," lanjut dia.
Diberitakan sebelumnya, wacana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghidupkan kembali GBHN mencuat. Hal itu diperkuat dengan rekomendasi Kongres V PDI Perjuangan yang juga sepakat untuk menghidupkan kembali GBHN.
Baca juga: Ahmad Basarah Klarifikasi, Amandemen UUD 1945 Bukan Maunya PDI-P
Meski demikian, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengklarifikasi bahwa amandemen terbatas UUD 1945 itu bukan murni inisiatif partainya.
Dalam Kongres V, PDI-P memang merekomendasikan agar dilakukan amandemen terbatas UUD 1945. Namun, hal tersebut bukan berarti ide dari PDI-P.
"Kongres PDI-P yang merekomendasikan MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati oleh pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI. Jadi, bukan maunya PDI-P. Ini perlu diluruskan," kata Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Basarah mengingatkan, amandemen UUD 1945 sudah lama diinginkan MPR. Namun dalam periode pembahasan yang terakhir kali, panitia ad hoc tidak dapat melanjutkannya sehingga kajian amandemen diserahkan kepada badan kajian MPR RI alias tidak dilanjutkan.
Adapun pimpinan MPR RI periode saat ini akan habis masa jabatannya beberapa bulan lagi. Rekomendasi PDI-P ini bersifat saran kepada pimpinan MPR periode mendatang.
"Rekomendasi (PDI-P) sifatnya hanya saran karena tidak ada sistem carry over dalam sistem ketatanegaraan kita di Parlemen. Karena periode ini berakhir 30 september, ya sudah selesai. MPR periode berikutnya tergantung putusan politik yang baru terpilih oleh pileg 2019," ujar dia.