Maka, menjadi keliru bila soal pemindahan ibu kota negara merupakan kewenangan tunggal Presiden sebagai kepala negara.
Sebab, ketika hendak dioperasionalisasikan, wajib UU Nomor 29 Tahun 2007 diganti. Hal itu jelas secara konstitusional harus melibatkan DPR (Pasal 20 UUD 1945).
Kecuali bila diterbitkan dalam bentuk Perppu yang tentu harus memenuhi pula kategori kegentingan yang memaksa (Pasal 22 UUD 1945).
Dengan demikian, dari dimensi legal memerlukan upaya inventarisasi, kajian dan amandemen peraturan perundang-undangan terkait dengan ibu kota negara.
Harus pula dicatat bahwa pemerintah daerah ibu kota memiliki kekhususan dalam sistem pemerintahannya seperti DKI Jakarta.
Gubernur memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan walikota/bupati dengan pertimbangan DPRD Provinsi dari pegawai negeri sipil (Pasal 19 UU Nomor 29 Tahun 2007).
Ini berbeda dengan daerah lain yang melalui pemilihan kepala daerah.
Kedua, dimensi demokrasi. Demokrasi tidak sekedar elektoral. Begitu presiden terpilih, maka semua diserahkan pada presiden untuk menentukan kebijakan.
Rakyat hanya menonton. Nanti, lima tahun ke depan dilibatkan lagi melalui pemilu.
Pemikiran demikian tentu sangat naif. Sebab, kedaulatan rakyat tidak berhenti saat pemilu. Namun, sesudahnya, rakyat berhak berpendapat. Bahkan berekspresi atas kebijakan tertentu. Semua dijamin konstitusional dan legal.
Permasalahannya, sering kali pemahaman ini mengalami defisit. Sehingga tidak heran, seorang filsuf Jurgen Habermass menggagas soal demokrasi deliberatif. Demokrasi yang hendak meradikalkan proses partisipasi publik di ruang publik lebih mendalam.
Menurut F Budi Hardiman (Dalam Moncong Oligarki, 2013), demokrasi deliberatif menghendaki proses konsultasi, menimbang-nimbang dan berargumentasi di antara para warga negara dalam civil society untuk pengambilan kebijakan publik dilakukan mendalam.
Sebab, bagi F Budi Hardiman, banyak produk undang-undang di Indonesia yang tidak cukup melibatkan deliberasi publik sehingga kesadaran kewarganegaraan sangat tipis.
Mengutip Habermas, baginya, persoalan demokratisasi sesungguhnya tidak terletak pada momen pemilu, melainkan pada waktu di antara dua pemilu.
Melalui partisipasi dalam deliberasi publik berkonsep demokrasi deliberatif di atas, maka akan menguatkan akar-akar etos demokratis dari bawah sehingga elit pragmatis dapat ditolak sejak dini.