PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) melansir rencana memindahkan ibu kota negara yang berada di Jakarta. Alasannya, Indonesia harus memiliki visi besar 10 sampai 100 tahun ke depan.
Jokowi memandang, kemacetan, jumlah penduduk padat, pencemaran lingkungan dan banjir yang dialami Jakarta merupakan bagian dari alasan pemindahan ibu kota.
Wacana pemindahan ibu kota sebenarnya sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Bahkan, di tahun 1946, telah terjadi pemindahan ibu kota ke Yogyakarta akibat agresi militer.
Tidak hanya itu, pada tahun 1948, Soekarno-Hatta ditangkap Belanda, maka ibu kota negara pindah secara darurat ke Sumatera Barat. Pada 17 Agustus 1950, baru ibu kota kembali ke Jakarta.
Selebihnya, pemindahan ibu kota menjadi wacana setiap rezim pemerintahan.
Masa Pemerintahan Soeharto, sempat Jonggol diisukan hendak dijadikan ibu kota. Hal ini ditengarai akibat terbitnya Keppres Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri.
Demikian pula pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), wacana pemindahan ibu kota mulai didiskusikan serius. Waktu itu, dilansir media, SBY menawarkan tiga opsi.
Pertama, ibukota tetap di Jakarta. Kedua, membangun ibu kota yang benar-benar baru. Ketiga, ibukota tetap di Jakarta, namun memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi lain.
Bagi penulis, wacana atau kajian maupun upaya memindahkan ibu kota negara merupakan diskursus yang sehat.
Artinya, ada kegelisahan menyangkut beban masalah yang dialami ibu kota Jakarta yang hendak dijawab dengan memindahkan ibu kota.