Hanya saja agar pedoman berpancasila di era Reformasi ini tidak mengulang kelemahan pedoman sebelumnya, ada baiknya dipahami beberapa hal mendasar.
Pertama, pedoman tersebut harus memuat dimensi normatif, kognitif, dan praksis dari Pancasila secara holistik.
Dimensi normatif memuat nilai-nilai yang dihayati sebagai pandangan hidup. Dimensi kognitif memuat konsepsi pengetahuan di dalam lima sila. Sedangkan dimensi praksis mengandung praktik dari nilai dan konsep pengetahuan tersebut.
Orde Lama menekankan dimensi kognitif dan praksis. Ia mengembangkan tafsir ideologis atas Pancasila dengan pendekatan sosialistik.
Baca juga: MPR Tegaskan Pancasila Ideologi Paling Tepat untuk Indonesia
Maka, Usdek yang adalah “hadist”-nya Pancasila, berisi konsep-konsep pengetahuan tentang sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin yang dihadapkan dengan demokrasi liberal, ekonomi terpimpin yang membedakan diri dengan kapitalisme dan komunisme, serta konsep esensialis (cultural essentialism) tentang hakikat kebudayaan Indonesia.
Konsep-konsep ideologis ini lalu dipraksiskan, baik untuk membentuk karakter manusia pro-revolusi maupun dalam desain pembangunan sosialistik.
Orde Baru lalu merevisi pendekatan ini, dengan menekankan dimensi normatif dari Pancasila untuk menghasilkan perilaku kewargaan yang sesuai dengan iklim pembangunan.
Proses normativisasi dalam bentuk penyederhanaan Pancasila menjadi 45 butir kode perilaku moral ini menjadi konsekuensi dari proses de-Soekarnoisasi Pancasila.
Proses de-Soekarnoisasi ini sendiri dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
Akibat de-Soekarnoisasi ini, Pancasila dibersihkan dari tradisi intelektual, baik dari pemikiran Soekarno maupun tradisi berpikir kritis. P-4 lalu menghadirkan Pancasila sebagai nilai-nilai normatif yang harus dijadikan pedoman setiap warga negara dalam berperilaku.
David Bourchier dalam Pancasila Versi Orde Baru (2007) menyatakan, P-4 menitikberatkan pada penguatan sila Persatuan Indonesia. Melaluinya, pemerintah meminta rakyat bersatu dengan negara.
Maka yang dimaksud Eka Prasetya Pancakarsa—Satu Tekad Melaksanakan Lima Kehendak—adalah tekad mengorbankan kepentingan individu demi kepentingan bangsa dan negara.
Tentu, penyatuan rakyat dan negara ini dilakukan demi terciptanya stabilitas politik agar pembangunan ekonomi tidak terganggu.
Dengan demikian, jika pedoman berpancasila era reformasi ini tidak ingin mengulang kelemahan pedoman sebelumnya, ia harus mewadahi semua dimensi Pancasila secara holistik.
Karena menitikberatkan dimensi normatif, P-4 mengalpakan dimensi kognitif. Demikian pula dengan Tubapi, yang dimensi pengetahuannya perlu disegarkan dalam konteks bangsa demokratis.
Pada titik ini, pedoman Pancasila era reformasi harus lebih menekankan dimensi kognitif untuk menguatkan dimensi normatif dan praksis.
Dimensi kognitif itu harus dikembangkan melalui tradisi pemikiran kontemporer.
Dalam hal ini, Yudi Latif melalui karyanya, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) telah memulai hal itu.
Baca juga: Yudi Latif: Pancasila Tak Bertentangan dengan Agama