JAKARTA, KOMPAS.com — Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kasus HAM masa lalu mengharapkan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, memprioritaskan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Ketua Presidium JSKK Maria Catarina Sumarsih menilai, meskipun Presiden Joko Widodo tidak menyinggung soal agenda pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM dalam pidatonya di Sentul, 14 Juli lalu, baginya visi dan misi masih bisa diubah.
"Saya berharap visi dan misi Jokowi-Ma'ruf ditambahkan penegakan HAM masa lalu. Kalau saya bilangnya begini, semua hal bisa diganti atau bisa diubah, kecuali kitab suci. Kalaupun di pidato itu tidak singgung soal HAM, masih bisa diubah kan," ujar Sumarsih seusai beraudiensi dengan Kantor Staf Presiden di kantor KSP, Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Baca juga: Sumarsih dan Keyakinannya yang Memudar terhadap Komitmen Jokowi
Baginya, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf sejatinya fokus dalam pemberantasan atau penuntasan kasus HAM berat masa lalu.
Ia juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk menjunjung tinggi nilai HAM dalam periode kedua kepemimpinannya.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu pun tidak boleh didiamkan.
"Jangan sampai seperti pengalaman di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara demokratis dan menjunjung tinggi nilai HAM oleh negara-negara lain, tapi kenyataannya kasus-kasus pelanggaran HAM berat didiamkan, bahkan digantung," ujarnya.
Baca juga: 20 Tahun Tragedi Semanggi I, Sumarsih Tak Akan Berhenti Cari Keadilan
Sumarsih juga menyebutkan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang kini menjadi beban sosial politik negara.
Terhadap delapan kasus itu pun diharapkan ada langkah konkret dari Jokowi-Ma'ruf.
Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.