JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini wacana tentang amandemen UUD 1945 kembali mengemuka dan menuai pro-kontra. Salah satu tujuan amandemen terbatas UUD 1945 adalah untuk mengembalikan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
Sejumlah pihak mendorong agar UUD 1945 kembai ke naskah asli yang sesuai amanat proklamasi. Pengembalian UUD 1945 untuk menegaskan fungsi MPR seperti dulu.
Dalam naskah asli UUD 1945, Bab II Pasal 2 dicantumkan bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.
Kemudian MPR juga dicantumkan agar bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara, serta segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.
Sementara dalam Pasal 3 dicantumkan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kemudian dalam Bab III Pasal 6 disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dalam Pasal 7 disebutkan pula bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, kembali ke naskah asli UUD 1945 merupakan suatu kemunduran yang sangat jauh.
Baca juga: Menkuham Sebut Partai-partai Sepakat Amandemen UUD Terbatas pada GBHN
"Kalau kembali seperti dulu, kita mundur jauh ke belakang. Bung Karno saja sebagai Ketua PPKI mengatakan, yang namanya UU itu adalah UU sementara. Memang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tapi ketika pidato 18 Agustus beliau bilang itu UU sementara sehingga sebenarnya kembali ke UUD 45 ide yang buruk," terang Refly kepada Kompas.com, Selasa (13/8/2019).
Jika kembali lagi ke UUD 1945 naskah asli, Refly menuturkan, sama dengan membubarkan Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan beberapa lembaga lain yang dibentuk berdasarkan empat kali amandemen.
Termasuk juga tidak akan ada lagi Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung yang sudah empat kali diberlakukan di Indonesia.
Baca juga: Try Sutrisno Usul UUD 1945 Dikaji Ulang dan Presiden Dipilih MPR
Di era orde lama dan orde baru, kata dia, masyarakat Indonesia justru hidup di era yang penuh otoriterianisme.
Ia mencontohkan yang terjadi pada era Presiden Soekarno dan Gus Dur. Kuat dan lemhanya Presiden, menurut Refly, akan sangat tergantung dengan konstelasi politik.
"Kalau menguasai konstelasi politik jadi Presiden otoriter karena ada MPR lembaga tertinggi," terang dia.
"Kalau Presiden kuasai MPR maka Presiden kuat dan otoriter, tapi kalau tidak akan seperti Gus Dur dan Bung Karno, Presiden akan lemah dan mudah diberhentikan. Jadi ya, step back," lanjut dia.
Namun jika ada yang tetap ingin kembali ke orde lama atau orde baru, maka hal tersebut merupakan suatu kemunduran yang berdampak pada masa depan demokrasi Indonesia.
Baca juga: Wacana Kembali ke UUD 1945 dan Mengingat Lagi Alasan Perlunya Amandemen
Contoh lainnya yang pernah terjadi, yakni TNI bisa memiliki kursi di DPR. Hal tersebut, kata dia semakin menjelaskan bahwa sistem yang dianut adalah sistem otoriter.
Tidak hanya itu, anggota MPR pun separuhnya bukan dipilih tetapi diangkat oleh Presiden.
"Boleh saja utusan golongan dan daerah untuk melengkapi. Mereka yang diangkat itu adalah yang direkrut pemerintah sendiri dengan berbagai macam mekanisme, tidak demokratis," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.