DALAM sebuah negara berkembang yang budayanya masih melanggengkan inferioritas perempuan, sudah terlalu banyak toleransi yang kita berikan pada orang yang gemar melontarkan pernyataan seksis.
Sebutlah contohnya, "Kamu kan perempuan, jangan sekolah tinggi-tinggi." Atau, ada juga pernyataan, "Laki-laki kok nangis."
Pernyataan seksis berlaku untuk perempuan atau laki-laki. Tujuannya untuk mempertegas adanya segregasi yang dikonstruksikan secara sosial.
Dengan iklim patriarki di Indonesia, sudah jelas yang banyak dirugikan adalah perempuan.
Namun, bukan itu yang perlu saya kupas habis kali ini karena topik-topik guyonan seksis ini sudah lama tidak muncul di permukaan.
Dalam perkembangannya, tidak semua media arus utama dan alternatif punya perspektif gender. Banyak yang masih berkiblat pada asas clickbait.
Meski edukasi mengenai kesetaraan gender dengan mudahnya kita dapat lewat media alternatif (social media atau media lokal), tetap saja guyonan seksis ini masih lestari secara laten.
Korban seringkali malas atau takut menanggapinya. Rasanya membuang waktu dan energi untuk menanggapi hal-hal seperti itu.
Ya, memang menguras energi, untuk berdebat atau sekadar menanggapi guyonan seksis yang bias gender.
Akan tetapi, jelas tidak semua orang-orang berpikir seperti itu. Ada yang punya waktu yang sangat luang, hingga bisa menulis sudut pandangnya dengan lebih leluasa. Apalagi, baik media arus utama atau alternatif kini menyediakan wadah khusus untuk pembacanya.
Hal itu biasanya diwujudkan dalam user generated content (UGC), jadi kontennya diisi oleh pembaca sendiri. Namun, dalam proses filternya tetap dilakukan oleh media yang bersangkutan.
Nah, dalam kasus pemberitaan tentang perdebatan seksis yang bias gender. Media yang mempunyai platform UGC adalah penentu.
Apakah media itu akan tetap memfilter konten karya user sesuai dengan kode etik dan ciri khas medianya sendiri, atau tetap meloloskan naskah-naskah dengan gaya seksis yang mengundang perdebatan nirfaedah?
Bila lebih condong pada pilihan kedua, apa yang dilakukan media tersebut tidak ada bedanya dengan pemberitaan dengan objektifikasi terhadap gender tertentu.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan media sama saja dengan media medioker atau under average yang memuat berita berjudul "Perempuan Cantik Ini Menjabat sebagai Direktur" atau "Korban Pemerkosaan ini Ternyata Berwajah Rupawan".
Media-media seperti ini tidak pantas dijadikan rujukan suatu nilai yang seharusnya merepresentasikan kondisi masyarakat.
Di zaman media alternatif yang terus berkembang, kredibilitas memang bukan hanya milik media arus utama. Kredibilitas sudah menjadi bebas nilai.
Namun, kepercayaan masyarakat mudah tergerus saat mendapati media andalan mereka mendiskreditkan kelompok, khususnya kelompok rentan.
Salah satu alasannya, sekarang sudah bukan Orde Baru. Pembaca media daring banyak berasal dari milenial dan generasi Z.
Youth Lab, sebuah lembaga studi mengenai anak Muda Indonesia, melakukan penelitian di lima kota besar di Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Makasar, Medan, dan Malang.
Hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa generasi milenial tumbuh menjadi individu-individu yang open minded, menjunjung tinggi kebebasan, kritis, dan berani (BPS: Profil Generasi Milenial Indonesia).
Bagaimana bila penulis atau editor media tersebut adalah milenial? Memang, tidak semua generasi milenial mampu menjangkau perspektif yang lebih luas sehingga terjebak dalam pola pikir biner yang terkotak antara hitam dan putih.
Apalagi bila media tersebut memfasilitasi debat warganet dengan oposisi biner. Hal itu adalah efek yang paling berisiko.
Pola pikir oposisi biner hanya melihat sesuatu dari sudut pandang benar atau salah. Misalnya, bila memperdebatkan perempuan, pemilik perspektif biner akan melihat peran perempuan terpisah menjadi subyek atau obyek saja.
Padahal, peran perempuan atau lelaki bisa terbagi dalam keduanya. Banyak faktor yang mempengaruhi pergantian peran.
Refleksinya adalah apakah memang harus dengan cara yang seperti itu cara media bekerja?
Melihat motif pemberitaan yang dilakukan dengan sengaja, prasangka seperti apa yang lebih cocok dialamatkan pada empunya media.
Apakah ingin secara eksplisit merespresentasikan nilai-nilai yang diperjuangkan? Adakah agenda tersembunyi yang membuat pengalihan isu?
Atau mungkin, hanya sebuah kecelakaan redaksi yang berasal dari agenda pribadi sang penulis atau editor?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.