KOMPAS.com – Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-74 akan diperingati pada 17 Agustus nanti. Siapa yang menyangka, tepat pada hari itu pula pencipta lagu "Indonesia Raya", Wage Rudolf (WR) Supratman tutup usia.
WR Supratman lahir pada tanggal 9 Maret 1903 di Jatinegara, Jakarta dan meninggal pada 17 Agustus 1938.
WR Supratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Jumeno Kartodikromo (tentara KNIL Belanda) dan ibunya, Siti Senen. Sedangkan Roekijem adalah kakak sulung yang membawanya ke Jakarta.
Seperti diberitakan Kompas.com (31/12/2008), tahun kelahiran dari WR Supratman menjadi perdebatan tersendiri bagi para penggiat sejarah. Sebab sebagian mempercayai kelahiran WR Supratman adalah 19 Maret 1903 di Desa Somongari Purwokerto.
Namun yang pasti, WR Supratman meninggal 17 Agustus 1938 dan makamnya berada di Taman Makam Pahlawan Khusus, Jalan Kenjeran, Kelurahan Rangkah, Kecamatan Tambaksari, Surabaya.
Baca juga: 5 Perayaan Unik Upacara Bendera 17 Agustus
Di Surabaya, selain makam WR Supratman, juga terdapat rumahnya yang sampai hari ini masih berdiri kokoh. Di rumah Jalan Mangga Nomor 21, Kelurahan Tambaksari, adalah rumah tempat WR Supratman sekaligus tempat menghembuskan nafas terakhirnya.
Keberadaan WR Supratman tidak bisa dilepaskan dari lagu "Indonesia Raya". Pasalnya lagu kebangsaan "Indonesia Raya" tersebut diciptakan WR Supratman dan diperdengarkan pertama kali pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Saat itu, beliau memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental dengan biola di depan peserta kongres.
Media yang pertama kali mempublikasikan syair Indonesia Raya adalah Sin Po.
Menurut Asvi Warman Adam, dalam buku yang ditulis Ang Yan Goan, syair "Indonesia Raya" disebut dimuat pada 1930-an.
Namun, dalam arsip yang diperlihatkan Djoko Utomo sewaktu menjabat Kepala Arsip Nasional RI, syair lagu kebangsaan itu dipublikasikan Sin Po pada terbitan 27 Oktober 1928.
Dengan demikian, ada kemungkinan "Indonesia Raya" sudah "dibocorkan" di Sin Po, sebelum diperdengarkan secara instrumentalia pada saat pengikraran Sumpah Pemuda.
Baca juga: Promo 17 Agustus, Ini Sejumlah Restoran yang Menyediakan Diskon Khusus
Pergolakan pemerintahan yang terjadi pasca transisi orde lama ke orde baru dan peristiwa G30S/PKI, membuat nasib Sin Po dianggap simpatisan Partai Komunis Indonesia dan terlibat Gerakan 30 September 1965.
Koran yang sudah bernama Warta Bhakti itu kemudian dilarang terbit sejak 1 Oktober 1965.
Kekerasan yang terjadi pasca-G30S 1965 itu tidak hanya mematikan eksistensi Sin Po. Secara perlahan, perannya dalam pergerakan kebangsaan pun mengelupas dalam catatan sejarah.
Tak banyak yang tahu bahwa lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang selama ini dinyanyikan belum lengkap alias hanya satu bait saja.