"DDW berkenalan dengan ZFK (Zulfikar) yang memiliki kolega-kolega yang dianggap berpengaruh untuk pengurusan izin tersebut. ZFK memiliki koneksi dengan MBS (Mirawati) dan ELV (Elvianto) yang diketahui dekat dengan INY," kata dia.
Sejak saat itu, Doddy, Zulfikar, Mirawati dan Dhamantra melakukan sejumlah pertemuan membahas pengurusan perizinan impor dan kesepakatan fee.
Minta fee Rp 3,6 miliar
Dhamantra melalui Mirawati diduga meminta fee pengurusan impor tersebut.
Baca juga: KPK Tetapkan Anggota DPR Nyoman Dhamantra Tersangka Suap Impor Bawang Putih
Angka yang disepakati awalnya Rp 3,6 miliar dan sebesar Rp 1.700 sampai Rp 1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.
"Komitmen fee tersebut akan digunakan untuk mengurus perizinan kuota impor 20.000 ton bawang putih untuk beberapa perusahaan termasuk perusahaan yang dimiliki oleh CSU alias Afung," ujar Agus.
Dikarenakan perusahaan-perusahaan yang membeli kuota dari Chandry belum memberikan pembayaran, Chandry tak punya uang membayar fee tersebut.
Baca juga: Siapa Nyoman Dhamantra, Wakil Rakyat PDI-P yang Dijemput KPK?
Ia meminta bantuan Zulfikar memberi pinjaman.
"ZFK diduga akan mendapatkan bunga dari pinjaman yang diberikan, yaitu Rp 100 juta per bulan dan nanti jika impor terealisasi, ZFK akan mendapatkan bagian Rp 50 untuk setiap kilogram bawang putih tersebut," ujar Agus.
Dhamantra diduga terima Rp 2 miliar
Tanggal 7 Agustus 2019, Zulfikar mengirimkan uang ke rekening Doddy sebesar Rp 2,1 miliar.
Baca juga: Kasus Dugaan Suap Impor Bawang Putih, KPK Sita 50 Ribu Dollar AS hingga Mobil
Uang yang diterima diteruskan Doddy dengan mengirimkan Rp 2 miliar ke rekening kasir money changer milik Dhamantra.
Uang tersebutlah yang diduga sebagai fee untuk mengurus SPI.
Sedangkan uang Rp 100 juta masih berada di rekening Doddy dan akan digunakan untuk operasional pengurusan izin. Saat ini semua rekening tersebut diblokir oleh KPK.
Baca juga: Kronologi OTT KPK Kasus Dugaan Suap Impor Bawang Putih
"Diduga uang Rp 2 miliar yang ditransfer melalui rekening adalah uang untuk mengunci kuota impor yang diurus. Dalam kasus ini teridentifikasi istilah 'Lock kuota'," papar Agus.