KOMPAS.com - Bugi Sumirat mungkin tak pernah menyangka kalau penerbangannya ke Lampung dari Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta Terminal 3 pada Senin (15/7/2019) mengalami kendala akibat listrik padam.
“Sekitar pukul 05.02 WIB listrik di Terminal 3 Bandara Soetta padam. Akibatnya suasana di gate atau pintu di Terminal 3 gelap gulita. Wastafel tidak ada airnya karena mati lampu. Baru sekitar pukul 06.23 WIB listrik menyala," ucap Bugi seperti dimuat Kompas.com di hari yang sama.
Tak berhenti sampai di situ, dampak listrik padam baru terasa ketika ia tiba di Bandara Lampung. Bagasi penumpang ternyata masih tertahan di Bandara Soetta.
"Sebagian bagasi penumpang tidak terbawa akibat sistem tidak bekerja saat mati listrik tersebut. Katanya akan diikutkan dengan pesawat berikutnya," kata dia.
Sebenarnya tak cuma aktivitas di bandara, pemadaman listik bisa menganggu kenyamanan kegiatan banyak orang sehingga berpotensi menimbulkan kerugian.
Baca juga: Penumpang Keluhkan Listrik Terminal 3 Soekarno-Hatta yang Padam 1,5 Jam
Contohnya di Jayapura Papua. Diberitakan Kompas.com, Selasa (2/7/2019), warga di sana mengeluh karena sering terjadi pemadaman listrik berulang-ulang dengan durasi hingga berjam-jam.
"Saya tukang servis alat elektronik, jadi sangat bergantung pada listrik. Kalau listrik sering mati kaya sekarang, penghasilan saya berkurang drastis," ujar Mierto Tangkepayung, salah satu warga Dok 5, Distrik Jayapura Utara.
Cerita Bugi Sumirat dan Merto Tangkepayung adalah gambaran betapa sulitnya kita hidup tanpa listrik. Terlebih pada era digitalisasi saat ini, ketika semua perangkat membutuhkan energi listrik agar bisa beroperasi.
Selain kerusakan dan kendala teknis, listrik padam terjadi akibat pembangkit listrik kurang mendapat pasokan bahan bakar. Contoh Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) Rawa Minyak di Riau.
Artikel Kontan Minggu (18/12/2016) memberitakan, PLTMG berkapasitas 25 megawatt (MW) itu gagal beroperasi akibat terkendala pasokan gas yang kurang. Ini terjadi lantaran gas yang diprediksi diproduksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bervolume besar ternyata hasilnya kecil.
Perusahaan Listrik Negara PT (PLN) pun mengakui mulai kekurangan pasokan gas untuk kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik.
Kondisi tersebut jelas menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar pembangkit listrik milik PLN di Indonesia masih berbahan bakar fosil, yaitu batu bara, minyak dan gas (migas).
Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2018 yang dirilis Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, dari 41,720.92 MW listrik yang PLN hasilkan pada 2017, hanya 979,35 MW berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar non fosil.
Di sisi lain cadangan energi fosil Indonesia pun lama-lama makin merosot. Kementerian ESDM mencatat, saat ini cadangan batu bara kita sekitar 7,3 – 8,3 miliar ton dan diprediksi akan habis pada 2036.
Baca juga: Produksi Migas RI di Semester I 2019 Tak Capai Target
Sementara itu, cadangan minyak saat ini sebesar 4,7 milliar barrel diproyeksi akan habis pada 2028. Untuk bahan bakar gas, cadangannya mencapai 151,33 triliun cubic fee (TCF) dan diprediksi ludes pada 2027.
Sebenarnya kemerosotan tersebut sudah terlihat dari produksi migas yang terus melamban. BP Statistical Review mencatat produksi minyak bumi Indonesia pada 2018 hanya 808.000 barrel per hari, sedangkan konsumsinya 1.785.000 barrel per hari.
Bandingan dengan 10 tahun lalu, ketika itu produksi minyak mencapai 1.003.000 barrel per hari, sedang konsumsinya 1415.000 barrel per hari. Jomplangnya produksi dan kebutuhan minyak dalam negeri membuat pemerintah harus melakukan impor minyak untuk menutupi defisit.
Bagaimana dengan gas? BP Statistical Review mencatat produksi gas Indonesia pada 2018 mencapai 73.3 billion cubic meter (BCM), sementara pemakaiannya 39.0 BCM. Adapun pada 2010 produksi gas mencapai 87.0 BCM dan konsumsinya 44.0 BCM.
Baca juga: Jonan: Indonesia Tidak Akan Impor Gas
Kenaikan produksi hanya terjadi di batu bara. Pada 2018 produksi bahan tambang ini tercatat 323.3 juta ton, sedangkan konsumsi 61,6 juta ton. Angka ini naik dibandingkan 10 tahun yang hanya 162.1 juta ton dan konsumsinya 39,5 juta ton.
Meski terjadi kenaikan, seperti yang sudah disinggung di atas, cadangan batu bara di Indonesia terus menurun, sehingga membahayakan bagi ketahanan energi nasional.
Subsidi energi
Selain menurunnya cadangan migas dan batu bara, masalah lain yang dihadapi negeri ini adalah soal subsidi energi. Pemerintah hingga saat ini masih mengalokasikan dana subsidi energi (BBM, LPG dan Listrik) pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Seperti diketahui, APBN Indonesia berkali-kali pernah jebol akibat subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). Contoh pada APBN 2012.
Saat itu, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,599 triliun. Namun, dalam perjalanannya karena harga minyak dunia melonjak, pemerintah menaikkan anggaran subsidi BBM jadi Rp 137,379 triliun.
Baru dalam 4 tahun ke belakang pemerintah mulai mengurangi subsidi BBM dari Rp 46,79 triliun (2014) menjadi Rp 14,90 triliun (2015), Rp 14,90 triliun (2016), dan Rp 7,15 triliun (2017).
Setelah tahun 2015, pemerintah menjaga alokasi subsidi energi dikisaran Rp 100 triliun hingga tahun 2018. Alokasi subsidi energi yang ditetapkan dalam APBN 2018 adalah Rp 97,6 triliun.
Namun sayang dalam realisasinya, subsidi energi pada 2018 kembali naik. Seperti dimuat Kompas.com, Jumat (4/1/2019), realisasi subsidi energi tahun lalu Rp 153,5 triliun.
Angka itu melonjak 36,4 persen atau Rp 55,9 triliun dari realisasi subsidi energi tahun 2017 sebesar Rp 97,6 trilun. Kenaikan terbesar berasal dari subsidi BBM dan LPG yang mencapai Rp 97 triliun.
Baca juga: Lampaui Pagu APBN 2018, Subsidi BBM dan Elpiji Rp 54,3 Triliun
Adapun relisasi subsidi listrik menyentuh Rp 56,5 triliun atau meningkat 11,6 persen jika dibandingkan tahun 2017 sebesar Rp 50,6 triliun.
“Lonjakan subsidi didorong faktor konsumsi elpiji 3 kilogram (kg) yang meningkat. Selain itu, juga karena meningkatnya subsidi BBM jenis solar yang naik dua kali lipat, dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.000,” ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto.
Nah, jika keadaan seperti itu dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan APBN Indonesia di masa mendatang akan kembali jebol, sehingga bisa membahayakan RI.
Permasalahan pelik kebutuhan energi nasional sebenarnya bukanlah tanpa solusi. Pasalnya, kini sudah ada energi alternatif pengganti fosil, yakni renewalable energy atau energi baru terbarukan (EBT).
Apalagi potensi EBT di Republik ini sangatlah besar. Kompas.com, Jumat (2/2/2019) memberitakan, potensi EBT di Indonesia mencapai 325 giga watt (GW). Rinciannya energi air (hidro) 75 GW, panas bumi (geothermal) 17 GW, tenaga matahari (surya) 200 GW, dan biomassa 33 GW.
Sementara itu, menurut data dari Badan Energi Terbarukan Internasional, Indonesia berpotensi menghasilkan 716 GW energi dari solar photovoltaic (solar PV), hydropower, bioenergi, geothermal, tenaga gelombang laut, dan angin
Meski begitu, pengembangan EBT saat ini mengalami kendala karena menghadapi banyak tantangan. Mantan Direktur Utama PT Pertamina yang sekarang menjadi Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, membeberkan 3 tantangan dalam memaksimalkan EBT.
Pertama, sumber daya manusia (SDM) lokal Indonesia belum penuh menguasai teknologi pembangungan dan pengelolaan EBT.
Kedua, adanya social barrier atau penolakan dari masyarakat. Misalnya banyak orang mengira Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) akan merusak hutan lindung dan sebagainya.
"Padahal adanya PLTP malah melindungi alam sekitarnya," ujar Dwi seperti dirilis Kompas, Jumat (28/12/2016).
Baca juga: Pertamina: Ini 3 Hambatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
Ketiga, terkait harga. Dwi mengatakan, saat ini harga energi fosil sedang rendah, sementara EBT cenderung lebih mahal karena biaya investasi yang tinggi.
Itu terjadi lantaran saat ini tingkat bunga perbankan dalam negeri untuk investasi sektor EBT mencapai 10-11 persen. Akibatnya, pengusaha kurang berminat dengan rate of returns sekitar 14 persen.
Tantangan lain datang dari kondisi geografis dan iklim di Indonesia. Langit Indonesia yang kadang kala tertutup awan, terlebih pada musim penghujan membuat pemanfaatkan energi surya jadi kurang maksimal.
“Untuk itu, perlu baterai buat menyimpan energi surya atau solar agar dapat digunakan pada malam hari,” ujar Achandra.
Kendaraan bertenaga listrik
Langkah lain untuk membawa Indonesia menuju kemandirian energi adalah dengan serius menggarap kendaraan bertenaga listrik. Ini perlu dilakukan agar dapat mengurangi konsumsi BBM.
Tidak berhenti sampai di situ, kendaraan bertenanga listrik ini harus bisa diproduksi di dalam negeri sehingga beban impor BBM tidak berpindah menjadi beban impor kendaraan utuh.
Soal ini sebenarnya bukanlah barang baru. Sudah banyak prototipe kendaraan bertenaga listrik yang berhasil dibuat anak bangsa.
Sebut saja, Tucuxi (mobil listrik sport) pada 2012, Gendhis (mobil listrik MPV) pada 2013, Selo (super car listrik) tahun 2013, Evina (city car listrik) tahun 2013, dan Hevana (mobil listrik berjenis sedan) pada 2013.
Terbaru adalah Bus MD255-XE2 buatan PT Mobil Anak Bangsa (MAB). Bus listirk ini bahkan telah resmi dijual dan sudah laku 2 unit.
Namun lagi-lagi, semua itu belum bisa diproduksi massal karena menghadapi banyak kendala. Dilansir Kompas.com, Selasa (12/6/2019), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendapati 7 kendala penerapan kendaraan bertenaga listrik.
“Mulai dari keterbatasan fasilitas pengisian daya, belum adanya regulasi harga energi listrik, lamanya pengisian daya dengan charger biasa, dan tidak adanya suara dari kendaraan yang berpotensi membahayakan pengendara lain,” kata Deputi BPPT Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material (TIEM) Eniya Listiani Dewi.
Baca juga: BPPT Menilai Kendaraan Listrik Masih Punya Kendala
Tantangan selanjutnya, lanjut Eniya, adalah masa periodik penggunaan baterai, ketidakcocokan kota yang minim daya listrik, belum ada ketetapan regulasi insentif, serta tidak adanya subsidi bagi pengguna yang membuat harga kendaraan bertenaga listrik mahal.
Belum kompetitifnya harga kendaraan bertenaga listrik akibat dari penggunaan teknologi canggih yang mahal. Adapun salah satu komponen yang membuat harga kendaraan ini melambung tinggi, yakni baterai.
Terkait baterai, Indonesia sendiri berpotensi bisa memproduksi komponen ini di dalam negeri. Hal ini dibenarkan Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Chaikal Nuryakin.
“Saat ini Indonesia memiliki sumber bahan baku alias raw material baterai. Sementara itu, teknologi pembuatan baterai masih harus diambil dari luar,” kata dia kepada Kompas.com, Kamis (11/7/2019).
Untuk itu, Indonesia bisa mengundang investor dari luar buat mengembangkan dan memproduksi baterai buat kendaraan bertenaga listrik.
"Kita bisa punya nilai tambah lebih bagus. Dibandingkan hanya menjual raw material ke luar dan orang luar yang buat dan tenaga kerjanya juga orang sana," jelas Chaikal.
Fakta tersebut jelas menjadi angin segar bagi pengembangan kendaraan bertenaga listrik di Tanah Air. Apalagi bila dibarengi dengan memaksimalkan potensi EBT yang ada.
Dengan demikian, krisis energi yang ada di depan mata kita pun, lambat laun akan berganti menjadi berkelebihan energi.
Namun itu semua bisa terjadi, bila semua stakehoders yang ada di negeri ini benar-benar serius menggarap potensi EBT dan kendaraan bertenaga listrik di Tanah Air.