Belum lagi soal pelaku usaha pengelolaan ikan yang jumlahnya juga tak seimbang, yakni 67.000 UMKM dan 750 pengelola besar.
Padahal, kata dia, untuk masuk ke pasar ekspor seperti Amerika, Eropa, dan Jepang semua membutuhkan sertifikasi.
"Tugas kami mengangkat UMKM supaya mampu memenuhi standar sertifikasi agar bisa ekspor," ujar Sjarief.
Tantangan pada periode kedua Jokowi
Kepemimpinan Jokowi akan terus berlanjut hingga lima tahun ke depan. Indonesia sebagai poros maritim dunia akan tetap diimplementasikan ke dalam berbagai kebijakan yang sudah ada.
Namun, dalam kelanjutan pelaksanaannya, perlu dilakukan penataan ulang terhadap konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Untuk lima tahun ke depan, kita posisinya pada review dan pemantapan kembali. Jadi apa yang telah kita capai dalam lima tahun, kita review lalu mulai melakukan penataan ulang, perbaikan dari apa yang telah kita tata," papar Sjarief.
Baca juga: Indonesia Belum Bisa Jadi Poros Maritim Dunia, Ini Kendalanya
Ia mencontohkan keberadaan tol laut. Saat ini, tol laut sudah jadi tetapi pengoperasian penuhnya harus melibatkan industri seperti Kamar Dagang Indonesia (Kadin) untuk dapat menyesuaikan supply dan demand.
Apabila wilayah timur memiliki demand ikan, sedangkan barat memiliki beras dan lain-lainnya, kata dia, maka harus dicari cara bagaimana mensinergikan frekuensi waktu serta volume supply dan volume yang dimaksud.
"Itu semua harus dilakukan penataan ulang. Kalau itu dilakukan dalam lima tahun lagi, tidak mustahil poros maritim dunia bisa tercapai dengan kekuatan yang kita punya," kata dia.
Menurut dia, rintisan-rintisan awal berkaitan dengan sumber daya, pertahanan, diplomasi maritim, dan budaya sudah dilaksanakan.
Saat ini, yang tinggal dilakukan yakni membuat rencana aksi (plan of action) untuk pemantapan, membuat road map, serta menunjuk team work lintas departemen guna memastikan seluruh target bisa tercapai.
Sebab, sejauh ini, beberapa langkah untuk menjalankan poros maritim juga sudah diinisiasi walaupun belum sempurna sepenuhnya.
Mulai dari pemberantasan illegal fishing, unreported, dan unregulated (IUU) fishing, perginya kapal-kapal asing, stok ikan nasional yang naik, beberapa sentuhan dalam pembangunan Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), sentra-sentra industri baru untuk perikanan, hingga pelaksanaan tol laut.
Dua kendala
Selain kendala di lapangan, dalam pelaksanaannya, poros maritim juga terkendala beberapa hal yang mendasar.
Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Staf Presiden RI Jaleswari Pramodhawardani menyebutkan, ada dua hal yang menjadi kendala.
Kedua kendala tersebut adalah leadership (kepemimpinan) dan koordinasi.
Ia mengatakan, kendala itu muncul setelah hal-hal prinsipil yang ditemukan, diturunkan ke dalam program-program tertentu yang dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait.
"Leadership. Ini penting di pusat dan daerah sehingga saya yakin sering melihat kasus-kasus yang berkaitan dengan kesejahteraan nelayan, contohnya masalah cantrang," ujar Jaleswari dalam acara seminar itu.
Ia mengatakan, potensi kelautan Indonesia sangat luar biasa tetapi tidak berbanding lurus dengan ekspor.
Contoh lainnya adalah gerakan mengkonsumsi ikan yang masih kalah dibandingkan negara-negara lain di dunia.
Baca juga: Sofian Effendi: Pak Jokowi Pernah Mengeluh, Tak Ada yang Mengerti Poros Maritim
Indonesia, kata dia, tahun ini menargetkan jumlah masyarakat mengonsumsi ikan sebanyak 49-50 kilogram per kapita.
Namun, target tersebut juga masih kalah dibandingkan negara lain yang sudah menargetkan 70-80 kilogram per kapita. Bahkan, Jepang sudah menargetkam 100 kilogram per kapita.
"Kedua soal koordinasi, tentang melihat kinerja birokrasi masih jadi kendala. Contohnya, bagaimana untuk percepatan Peraturan Presiden (Perpres) Industri Perikanan," ucap dia.
Klausul Perpres itu sendiri, kata dia, perlu dikoordinasikan oleh Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Kementerian tersebut harus duduk bersama untuk menyisir regulasi yang tumpang tindih.