KOMPAS.com – Padamnya listrik di sebagian wilayah Jawa-Bali yang terjadi pada Minggu (4/8/2019) mendapat perhatian banyak pihak.
Pasalnya selain berlangsung cukup lama berkisar 7 jam, kejadian pemadaman tersebut terjadi di Jakarta yang notabene Ibu Kota Negara.
Bahkan Presiden Joko Widodo langsung mendatangi kantor pusat PT PLN pada Senin (5/8/2019) guna mendapatkan penjelasan dari Pelaksana Tugas Direktur Utama PT PLN Sripeni Inten Cahyani.
Marwan Batubara, Direktur IRESS (Indonesian Resourcess Studies), mengungkapkan pendapatnya terkait peristiwa ini.
Ia menyoroti tentang penghematan dan keandalan sistem yang dilakukan PLN. Agar tidak terulang kembali, Marwan meminta PLN agar lebih mengutamakan kehandalan sistem meskipun mungkin nantinya akan lebih mahal.
“Kalau mau handal maka lebih mahal. Maka kalau penghematan yang dikejar maka risiko sistem tidak handal dan resiko black out (pemadaman listrik) lebh besar,” tuturnya kepada Kompas.com Selasa (6/8/2019).
Baca juga: Kronologi Blackout: Dari Mati Lampu, Jokowi Marah, hingga Janji PL
Hal kedua yang perlu dilakukan PLN yakni bersikap terbuka, termasuk jika adanya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi dan menyebabkan kendala teknis di lapangan. Semisal terkait adanya kebijakan mengenai tarif listik.
Di sisi lain, pelajaran yang bisa diambil PLN ke depan adalah tentang pembangunan pembangkit listrik. Misalnya pembangunan untuk konsumen di Jawa Barat tapi membangunnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ia menyampaikan bahwa hal seperti ini jika tak didukung jaringan interkoneksi kuat akan menimbulkan masalah seperti kemarin.
“Di sini perlu ada perencanaan, kesesuaian di mana membangun pembangkit dengan di mana konsumen berada. Ini kan mestinya sejalan. Jangan bangun di timur, konsumen di barat atau konsumen di barat bangun di Jawa Tengah,” tuturnya.
Marwan juga mengusulkan penguatan jaringan interkoneksi dengan penggunaan dana APBN. Pasalnya, jaringan interkoneksi yang kuat dibutuhkan untuk kondisi pembangkit listrik yang saat ini saling berjauhan.
Selain hal di atas, pengaturan sistem kerja sama dengan swasta menurut Marwan juga perlu ditata. Menurut Marwan sistem delivery or pay yang selama ini diterapkan dimana PLN membayar apa yang digunakan belum terlalu efektif.
“Hanya berlaku setelah pembangkit berumur 12-15 tahun. Jadi awal-awal tetap take or pay berlaku. Jadi beban PLN dari listrik swasta cukup besar karna pertama skema take or pay yang kedua karena bisa saja dia tidak butuh di suatu wilayah tapi dia harus terima,” paparnya.
Take or pay sendiri menurut Manwar adalah dimana PLN membayar untuk berapapun yang ia pakai. Ia mencontohkan selama ini mereka bangun misal 1 pembangkit 120 megawatt sementara butuhnya hanya 100 megawatt, artinya ada kelebihan. Tapi karena prinsipnya take or pay maka bayarnya harus 120 megawatt.
Baca juga: Usai Marahi PLN, Jokowi Enggan Berkomentar Lagi soal Listrik Padam
Lebih lanjut ia juga menyarankan mengenai reserve margin yang harus betul-betul dihitung dengan baik oleh PLN. Ia menyebut reserve margin di luar negeri adalah berkisar 12-15 persen. Reserve margin ini adalah kelebihan pasokan listrik yang dimiliki oleh PLN.
Memang daya yang disediakan PLN harus lebih besar dibanding beban puncak, namun ia menyebut hal ini tidak boleh terlalu berlebihan.
Marwan juga menyarankan, kemungkinan untuk mengganti sumber energi primer batu bara yang digunakan PLN, hal ini lantaran proses menghidupkan hingga bisa dinikmati, butuh waktu sekitar 4 jam sehingga waktunya cukup lama. Inilah yang menurutnya menjadi salah satu faktor kenapa pemadaman kemarin berlangsung lama.
Ia menyebut, seandainya menggunakan gas, waktunya bisa berlangsung hanya sekitar 15 menit meskipun tentunya biaya yang dibutuhkan lebih mahal.
Secara terpisah Fahmy Radhi saat dihubungi Kompas.com Selasa (6/8/2019) menyebut PLN seharusnya menerapkan automatic protection system yang berlapis-lapis. Sehingga bisa langsung menyesuaikan apabila terjadi kejadian seperti kemarin meskipun nantinya diperlukan biaya yang lebih mahal.
“Namun kalau dihitung dengan kerugian yang dialami masyarakat barangkali tak masalah,” tuturnya.
Ia juga menyarankan mengenai adanya perubahan pada PLN yang ia sebut BUMN-nisasi.
“Ke depan jangan monopoli namun juga jangan diserahkan ke swasta. Saya menyebutnya BUMN-nisasi. Sehingga tak hanya PLN namun juga BUMN-BUMN lain yang bersaing secara sehat. Sehingga akan memperbaiki tata kelola, pembangkit, efisiensi dan keamanan yang terjamin,” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.