NAMA Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, Putra Presiden Jokowi, masuk bursa calon wali kota Solo. Seberapa besar peluangnya? Mari kita kupas.
Pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada 2020 sepertinya akan menyajikan banyak kejutan. Ada sejumlah fakta yang membuka mata banyak orang. Dunia politik kembali banjir informasi.
Setelah Piplres 2019, isu-isu politik nasional tak lagi menarik di mata publik. Politik nasional penuh intrik yang berujung pada kursi kekuasaan.
Sementara itu, pintu politik lokal yang mulai terbuka lebih menarik di mata publik. Dimulai dari hasil survei Universitas Slamet Riyadi (Unisri), Solo, yang menyebutkan bahwa popularitas Gibran berada pada posisi teratas sebagai calon wali kota.
Baca juga: Gibran dan Kaesang Masuk Bursa Calon Wali Kota Solo? Ini 5 Faktanya
Popularitasnya bahkan disebut menyamai wakil walikota Solo Achmad Purnomo yang sudah menjabat 2 periode. Popularitas Gibran dan Achmad sama-sama berada di angka 90 persen.
Popularitas kedua Putra Jokowi itu juga mengalahkan popularitas orang ketiga di Kota Solo yaitu Ketua DPRD Teguh Prakosa. Popularitas Kaesang 86 persen, di atas Teguh yang bertengger di 49 persen.
"Titik lokasi survei sebanyak 96 tempat dengan jumlah responden masing-masing titik lokasi survei sebanyak 8 responden. Besaran sampel ini memenuhi kriteria tingkat signifikasi pada posisi 95 persen dengan tingkat kesalahan 4 persen," ungkap Ketua Laboratorium Kebijakan Publik UNISRI, Solo, Suwardi, pekan lalu.
Permulaan yang cukup mengejutkan. Semua tahu bahwa kedua Putra Jokowi belum punya rekam jejak politik. Jokowi juga tidak pernah berkampanye yang menonjolkan penampilkan keduanya.
Tentu saja ada yang beranggapan bahwa popularitas itu wajar karena Jokowi pernah memimpin Solo 2 periode dan sukses hingga tingkat nasional, jadi presiden.
Lalu, bagaimana peluang Gibran dan Kaesang dalam pilkada nanti?
Setidanya ada tiga hal yang menjadi tantangan.
Pertama, keduanya butuh kendaraan politik atau partai politik dengan seluruh mesin politiknya sebagai pengusung. Sulit dibayangkan jika Putra Jokowi maju melalui jalur di luar dukungan PDI-P.
Pertanyaannya, akankah PDI-P memberi karpet merah? Jawabannya tak semudah yang dibayangkan!
Pada tataran partai, terutama bagi partai yang memiliki kader loyal, diantaranya PDI-P dan PKS misalnya, posisi pimpinan kepala daerah yang diusung tak bisa serta-merta berasal dari orang di luar partai.
Ada semacam proses "urut kacang". Seorang pimpinan di satu daerah harus memiliki kiprah dan keringat di partai. Sulit untuk mengabaikan pertimbangan ini untuk kemudian mengambil sosok dari luar partai.
Dalam Program AIMAN yang tayang di Kompas TV, Senin (5/8/2019), saya menanyakan hal ini kepada Wali Kota Solo FX Rudi Hadyatmo yang juga Ketua DPC PDI-P Kota Solo.
"Siapa pun punya hak untuk mencalonkan atau dicalonkan, tapi di PDI-P sudah tertata dari dulu sehingga mekanisme harus dilalui,” kata Rudi.
"Semua harus melalui mekanisme itu?" tanya saya.
"Iya!" jawab Rudi.
"Tak ada karpet merah untuk politik, anak presiden sekalipun?" tanya saya lagi.
"Iya!" jawab Rudi lagi.
Ia menyarankan Gibran untuk belajar politik terlebih dahulu sebelum terjun menjadi calon wali kota.
"Mas Gibran, belajar politik dulu deh!" ungkap Wali Kota yang pernah menjadi Wakil Walikota Solo bersama Jokowi periode 2005 – 2010.
Tampaknya perdebatan terhadap Putra Jokowi akan dimulai di internal PDI-P sendiri.
Kedua adalah soal publik. Penilaian publik terhadap Gibran dan Kaesang mestinya berbeda dengan penilaian publik terhadap Jokowi.
Dalam survei Pilpres 2014, lembaga survei Polcomm dan Populi mendapatkan, responden memilih Jokowi karena dianggap jujur dan sederhana (merakyat), sementara Prabowo dipilih karena tegas dan berwibawa.
Gibran dan Kaesang tentu saja tidak sama dengan Jokowi. Keduanya tidak memiliki darah biru politik seperti halnya anak-anak ketua umum dan pendiri partai. Oleh karena itu, orisinalitas dari kalangan bawah terhadap Gibran dan Kaesang pasti berbeda.
Ketiga adalah kompetensi alias kemampuan. Rekam jejak soal kemampuan inilah yang akan memengaruhi elektabilitas alias tingkat keterpilihan seseorang.
Pada 2014 Jokowi dan Prabowo sama-sama mulai dari nol karena belum ada satu pun yang pernah menjadi Presiden, berbeda dengan 2019. Rekam jejak seorang calon akan membentuk persepsi yang akan menaikkan keinginan publik untuk memilihnya.
Tantangan kedua dan ketiga (publik dan kompetensi), bisa diminimalisir dan diatasi saat masa kampanye dengan meyakinkan pemilih. Sementara, restu partai adalah tantangan terberatnya.
Namun, politik selalu terkait dengan pragmatisme. Bisa jadi, jika popularitas dan elektabilitas keduanya tak terbendung maka mereka akan menjadi bak “permaisuri cantik” yang akan diperebutkan banyak partai.
Jika ini terjadi, keputusan akhir ada pada Gibran dan Kaesang.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.