JAKARTA, KOMPAS.com - Media sosial saat ini menjadi salah satu alat dan platform untuk mencari suatu informasi yang dibutuhkan. Tentu saja informasi itu tak hanya berupa berita.
Bahkan, media sosial juga menjadi tempat bagi seseorang dalam mengumumkan kabar baru. Beberapa influencer menggunakan instrumen ini untuk mengabarkan kondisi serta rencana-rencana mereka.
Namun, tentunya tidak semua konten yang dihasilkan influencer itu positif. Ada sejumlah depresi yang disampaikan influencer di media sosial, bahkan hingga pesan bunuh diri.
Salah satunya yang dilakukan youtuber asal Amerika Serikat (AS), Daniel Desmind Amofah atau yang akrab disapa Etika. Sebelum dilaporkan menghilang, Etika mengunggah video yang mengungkapkan keinginannya untuk bunuh diri.
Baca juga: Hilang Berhari-hari, YouTuber asal AS Ditemukan Tewas Mengambang
Tak hanya Etika, media sosial juga membuat beberapa orang mencari sensasi dengan memanfaatkan platform ini.
Tahun lalu, pengelola sebuah hotel di Irlandia mengumumkan menolak berbisnis dengan seluruh influencer.
Keputusan ini diambil setelah seorang blogger, youtuber, serta selebgram asal Inggris, Elle Darby, minta menginap secara gratis selama lima malam. Pemilik hotel kemudian merespons permintaan influencer tersebut secara terbuka di laman Facebook-nya.
Dengan tegas, ia menolak permintaan Darby dan memberikan beberapa catatan.
Di Indonesia, fenomena ini juga diikuti oleh beberapa influencer. Media sosial juga menjadi "rumah" bagi konten-konten usil (prank) dan tantangan (challenge).
Ada pula gamer yang kerap menampilkan pakaian seksi dalam konten videonya di YouTube.
Selain itu, baru-baru ini beredar kabar seorang social-media influencer belia yang mengumumkan akan rehat.
Namun, beberapa saat setelahnya, ia mengunggah konten susulan yang menyatakan bahwa dirinya tidak meninggalkan platform yang telah membesarkan namanya.
Tingkah laku dan polah para pelaku media sosial ini juga diulas di berbagai media. Ada yang hanya memberitakan kejadian tersebut apa adanya dan hanya ditangkap sebagai peristiwa semata.
Namun, ada juga yang membesarkan pemberitaan tersebut, bahkan menjadi sorotan khusus.
Baca juga: DPR Ingin Masyarakat Jangan Sekadar Jadi Penikmat Media Sosial
Fenomena ini pun menarik perhatian warganet. Beberapa orang menganggap pemberitaan tentang sensasi para pelaku media sosial ini masih dalam tahap wajar.
Akan tetapi, ada juga yang merasa pemberitaan terhadap para selebritas di media sosial ini terlalu berlebihan. Media dianggap hanya digunakan sebagai alat untuk meningkatkan popularitas orang-orang itu.
Sebenarnya, bagaimana seharusnya media bersikap?
Anggota Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Arif Zulkifli mengatakan, selayaknya media memberitakan isu yang menyangkut kepentingan publik.
"Intinya kalau saya melihat pemberitaan, selayaknya menyangkut kepentingan publik. Jadi kalau urusan-urusan pribadi yang tidak menyangkut kepentingan masyarakat luas, tentu saja tidak punya nilai berita, kalau menurut saya," ucap Arif.
Baca juga: Pesan Dewan Pers untuk Media Jelang Pemilu 2019
Meski begitu, lanjut Arif, ada dua pendapat berbeda dalam menyikapi masalah ini. Di satu sisi, ada yang beranggapan bahwa terdapat batasan dalam mengangkat suatu perkara.
Jika hal tersebut tidak menyangkut kepentingan orang banyak, maka perkara itu tidak perlu diangkat.
"Kecuali kalau artis itu jadi pejabat publik misalnya. Atau artis itu terlibat suatu perkara yang merugikan publik, nah itu layak diangkat," ucap Arif.
Namun di sisi lain, ada yang berpendapat, ketika seseorang sudah menjadi figur publik, maka dia menjadi bagian dari perhatian masyarakat.
Pendapat ini, menurut Arif, hanya memuaskan rasa ingin tahu masyarakat.
"Makanya ada gosip artis dan sebagainya," tutur dia.
Lebih lanjut, Arif menambahkan, kedua perspektif dalam melihat kepentingan berita ini belum menemukan titik temu, dan masih diperdebatkan hingga sekarang.
"Jadi kami (Dewan Pers) enggak masuk dalam perdebatan itu," kata Arif.
Meski begitu, Dewan Pers akan menangani konten atau berita yang dianggap sebagai pelanggaran, serta pengaduan atas sebuah pemberitaan. Namun dengan catatan, media yang bersangkutan memiliki badan hukum.
Tak hanya memberitakan kegiatan figur publik, pers saat ini juga memberitakan isu yang sedang hangat diperbincangkan di media sosial.
Arif kembali mengingatkan, hal pertama yang perlu diperhatikan apakah konten tersebut menyangkut kepentingan publik.
Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan ulasan dan pemberitaan. Jika media tersebut ingin mengangkat konten yang sedang hangat dibicarakan, maka selayaknya perkara itu diulas dengan prosedur jurnalistik yang benar.
"Kalau dia ditarik oleh media mainstream maka dia harus memenuhi kaidah-kaidah yang ditetapkan di UU 40 (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999), termasuk kode etik jurnalistik segala macam, cek ricek, terus konfirmasi, dan sebagainya, itu harus terpenuhi," tutur Arif.
Baca juga: 5 Alasan Media Sosial Bisa Mengganggu Kesehatan Mental
Lalu bagaimana dengan pengutipan dari media sosial?
Arif menuturkan, penulis mengutip pendapat atau klarifikasi sepanjang ia dapat memastikan bahwa kutipan tersebut memang diucapkan langsung oleh orang yang bersangkutan.
Dia memberi contoh kasus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong, yang mengatakan bahwa empat perusahaan unicorn Indonesia disebut sebagai perusahaan asal Singapura.
Segera setelah berita itu mencuat, Thomas melakukan klarifikasi di akun Twitter pribadinya.
Melihat contoh tersebut, maka media dapat mengutip klarifikasi dari yang bersangkutan.
"Tapi pertanyaan kritisnya adalah dari mana dia tahu kalau itu akunnya Tom Lembong? Dari mana dia bisa memastikan bahwa itu adalah Tom Lembong yang nge-tweet bukan adminnya? Nah di situ ada problem baru," ucap Arif.
Baca juga: Kepala BKPM Ralat Ucapannya soal 4 Unicorn Indonesia Dimiliki Singapura
Sehingga, Arif menggarisbawahi, saat mengambil kutipan yang bersumber dari media sosial, wartawan harus memastikan bahwa klarifikasi itu berasal dari pihak yang bersangkutan.
"Nah seorang wartawan yang baik mestinya mengecek, apakah humasnya BKPM (yang melakukan klarifikasi)? Apakah ini benar akunnya Pak Tom? dan sebagainya," tutur dia.
Dengan demikian, Arif menekankan, jika ingin mengangkat berita yang hangat di media sosial, maka wartawan harus memperhatikan nilai berita atau news value.
"Ada news value. Kalau enggak ada, masyarakat enggak dapat apa-apa sebetulnya," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.