KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengatakan akan segera mengumumkan lokasi ibu kota baru. Menurut Jokowi, pengumuman akan dilakukan setidaknya Agustus 2019.
Pada Selasa (30/7/2109), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengemukakan, ibu kota akan dipindah ke Pulau Kalimantan.
Sebelum kabar pemindahan ibu kota berhembus, Indonesia pernah memindahkan pusat pemerintahannya sebanyak dua kali, ke Yogyakarta dan Bukittinggi.
Sebelum menjadi ibu kota Pemerintahan Darurat RI, Bukittinggi diputuskan menjadi ibu kota Provinsi Sumatera oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 9 Agustus 1947.
Berdasarkan arsip Harian Kompas edisi 15 November 1987, seluruh instansi pemerintahan yang berkedudukan di Medan dan Pematangsiantar diungsikan ke Bukittinggi bersama seluruh perangkatnya.
Instansi tersebut antara lain Jawatan Kepolisian Negara, Pencetakan Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS), markas TNI Divisi IX/Banteng (Sumatera Tengah), serta seluruh markas besar seluruh laskar rakyat dipusatkan di kota ini.
Baca juga: Jika Ibu Kota Pindah, Menpan RB Pastikan Jutaan ASN Pusat Ikut Pindah
Tak hanya itu, sekolah kadet TNI juga didirikan di Bukittinggi. Di tempat inilah polisi wanita atau Polwan) dibentuk.
Beberapa anggota pertamanya merupakan jebolan Sekolah Inspektur Polisi.
PDRI dibentuk atas perintah Presiden Soekarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 19 Desember 1948.
Ini diakibatkan Agresi Militer II oleh Belanda yang merebut ibu kota RI di Yogyakarta. Peristiwa ini membuat para pemimpin negara waktu itu diasingkan oleh Belanda.
Jelang ditangkap, Harian Kompas, 22 Desember 1999 menyebutkan, Soekarno dan Hatta saat itu sempat mengadakan Sidang Kabinet darurat.
Hasilnya, tampuk pemerintahan untuk sementara diserahkan ke Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk pemerintah darurat.
Baca juga: Wacana Pemindahan Ibu Kota pada Era Soekarno dan Sebelumnya..
Kami, Presiden Republik Indonesia, memberitakan bahwa, pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu Kota Jogjakarta.
Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia, untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera. Sumatera (Tengah).
Namun, surat tersebut tidak terkirim ke Sjafruddin. Meski begitu, Sjafruddin yang saat itu berada di Bukittinggi bersama dengan Teuku Muhammad Hasan (Gubernur Sumatera) dan Panglima Tinggi Teritorial Sumatera Kolonel Hidayat, serta beberapa tokoh lainnya mendirikan PDRI.
Adapun kabinetnya terbentuk pada tanggal 22 Desember 1948 di Halaban, sebuah nagari di lereng Gunung Sago.
Kabinet PDRI terbentuk secara lengkap sipil maupun militer, termasuk pembentukan Komisariat PDRI di Jawa dengan ketua IJ Kasimo.
Harian Kompas, 27 Oktober 2004 meyebutkan, Sjafruddin saat itu disebut menjabat sebagai Ketua namun kedudukannya sama dengan presiden.
Kabinet pimpinan Sjafruddin ini terdiri dari delapan menteri antara lain Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Perang PDRI dan AA Maramis yang menjabat Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India.
Baca juga: Ini Keunggulan Kaltim hingga Layak Jadi Ibu Kota Negara Dibanding Daerah Lain
Pemerintah darurat ini berlangsung selama tujuh bulan, tepatnya pada 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949.
Tidak seperti pemerintahan pada umumnya, PDRI tidak menetap di salah satu tempat.
Harian Kompas, 20 September 2007 menulis, sejak saat itu, Sjafruddin dan rombongannya menjalankan pemerintahan dengan bergerak dari daerah ke daerah lain di pedalaman Sumatera Barat, guna menghindari kejaran Belanda.
Para pemimpin PDRI menyebar ke tiga jurusan. Menurut Harian Kompas 3 Februari 2000, Sjafruddin bersama dengan Teuku Mohammad Hasan memimpin rombongan bergerak melalui Bangkinang ke Kampar.
Baca juga: Ini Keunggulan Kaltim hingga Layak Jadi Ibu Kota Negara Dibanding Daerah Lain
Kedua rombongan Sutan Mohammad Rasjid selaku Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan, dan Perburuhan, dan Residen Sumatera Barat berangkat ke Kototinggi, Kabupaten Limapuluh Koto.
Adapun rombongan ketiga yang dipimpin oleh Kolonel Hidayat, Panglima Teritorial Sumatera dalam kabinet PDRI, berjalan kaki menempuh 1.500 km melalui Tapanuli ke Banda Aceh.
Rombongan Sjafruddin kemudian menuju ke Bidar Alam, di Kabupaten Solok Selatan. Tempat ini kemudian digunakan sebagai basis perjuangan PDRI.
Pada 17 Januari 1949 Stasiun Radio PDRI berhasil melakukan kontak dengan New Delhi, India.
Syafruddin dari Bidar Alam sempat mengirimkan ucapan selamat kepada Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dan peserta Konferensi New Delhi.
Dari Bidar Alam, Sjafruddin beserta rombongan bergerak secara bertahap ke Sumpur Kudus.
Desa-desa yang pernah menjadi pusat pemerintahan PDRI adalah Bidar Alam (Solok Selatan), Koto Tinggi (Limapuluh Kota), dan Sumpur Kudus (sekarang dalam Kabupaten Sijunjung).
Pemerintahan darurat itu berakhir 13 Juli 1949, yang ditandai dengan sidang pertama Kabinet Hatta setelah agresi kedua militer Belanda. Hasil sidang membuat mandat PDRI oleh Syafruddin dikembalikan kepada Soekarno-Hatta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.