JAKARTA, KOMPAS.com - Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan 2019 yang dirilis Komnas Perempuan menunjukkan adanya peningkatan pengaduan kasus kekerasan.
Pada tahun 2018 Komnas Perempuan mencatat peningkatan pengaduan sebesar 14 persen dari tahun sebelumnya.
Peningkatan ini memang mengindikasikan semakin membaiknya kesadaran masyarakat untuk mengungkap kasus kekerasan seksual.
Baca juga: Ini 9 Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diatur dalam RUU PKS
Kendati demikian, dibutuhkan pula legislasi yang mampu mencegah angka kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semakin tinggi.
Salah satunya, dengan cara mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tengah dibahas di DPR.
Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Masruchah menilai, RUU PKS dapat menjadi langkah awal dalam meruntuhkan relasi kuasa dan budaya patriarki.
Baca juga: Fraksi yang Menolak Pengesahan RUU PKS Dinilai Tidak Konsisten
Dua hal tersebut dinilai menjadi penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan.
"Saya pikir ini proses dalam upaya pendidikan. Maka ketika ada UU ini, bisa jadi pijakan dan referensi (menghapus relasi kuasa dan budaya patriarki). Orang tidak semena-mena melakukan kekerasan seksual," ujar Masruchah saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran dan inses (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah) masih merupakan kasus yang dominan dilaporkan.
Baca juga: Anggota Komisi VIII Pastikan RUU PKS Tak Legalkan Seks Bebas
Kasus marital rape atau perkosaan dalam perkawinan juga mengalami peningkatan pada tahun 2018.
Menurut, Masruchah, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Misalnya antara dosen dengan mahasiswa atau orangtua dengan anak.
Begitu juga dengan budaya patriarki yang menganggap laki-laki memiliki kedudukan atau derajat yang lebih tinggi terhadap perempuan.
Baca juga: Diah Pitaloka Yakin Kasus Nuril Tidak Terjadi Jika RUU PKS Disahkan
Jika mengacu pada draf RUU PKS, kata Masruchah, ada ketentuan pasal yang dapat digunakan untuk meruntuhkan kedua faktor itu.
"Misalnya kasus aborsi, kalau di dalam RUU KUHP bicara untuk pelaku yang melakukan aborsi, tapi kalau di RUU PKS bicara yang menyuruh aborsi. Karena sebenarnya ini terkait dengan relasi kuasa," kata Masruchah.
Cakupan yang Lebih Luas
Persoalan lain dalam menghapus kekerasan seksual adalah soal jenis tindak pidana yang masih didefinisikan secara sempit.
Masruchah mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun RUU KUHP, tidak mengatur definisi tindak pidana kekerasan seksual secara luas.
Baca juga: LBH APIK Nilai Draf RUU PKS Sudah Sesuai Harapan