Sementara, RUU PKS mengatur sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual.
Kesembilan jenis tindak pidana tersebut yakni pelecehan seksual, elsploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Baca juga: Berkaca dari Kasus Baiq Nuril, RUU PKS Dinilai Mesti Segera Disahkan
Kekerasan seksual meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik dan situasi khusus lainnya.
"Ada wilayah kekerasan seksual yang tidak dikenali dalam RUU KUHP," tutur dia.
Menurut Masruchah, definisi tindak pidana kekerasan seksual tidak lagi sebatas kekerasan fisik atau penetrasi alat kelamin. Contohnya, tindak pidana perkosaan dalam perkawinan.
Baca juga: Dari Kasus Ikan Asin Galih Ginanjar, Komnas Perempuan Desak Pengesahan RUU PKS
Meski telah dikategorikan sebagai tindak pidana, namun perkosaan dalam perkawinan tidak diatur dalam KUHP maupun RUU KUHP yang sedang dibahas oleh Komisi III DPR.
Masruchah mengatakan, hubungan seksual yang berdasarkan pada pemaksaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual meski dalam relasi perkawinan.
"Ketika memang tidak ada persetujuan, ini ada pemaksaan, ini kaitan dengan ancaman bila
idak dilakukan, ini artinya bagian yang yang kita kenali sebagai perkosaan," ucap Masruchah.
Baca juga: Kasus Baiq Nuril, DPR dan Pemerintah Diminta Segera Rampungkan RUU PKS
Urgensi pengesahan RUU PKS juga dilontarkan oleh anggota Komisi VIII Diah Pitaloka.
Diah mengatakan, belum adanya instrumen hukum yang mengatur jenis kekerasan seksual secara luas, mengakibatkan banyak kasus justru menjadi sulit dibuktikan di pengadilan.
Korban yang seharusnya mendapat keadilan, justru dikriminalisasi. Contohnya kasus yang menjerat Baiq Nuril.
"Terkadang pembuktiannya sulit, nah seperti terakhir misalnya kayak kasus Baiq Nuril susah juga dijelaskan dalam fenomena hukum, akhirnya dijerat dengan UU ITE," ujar Diah.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Pembahasan RUU-PKS Perlu Diteruskan, Ini Sebabnya
Baiq Nuril merupakan mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram yang terjerat kasus penyebaran konten bermuatan asusila.
Kasus Nuril berawal pada tahun 2012 silam, saat ia menerima telepon dari Kepala Sekolah bernama Muslim.
Dalam perbincangan itu, Muslim menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Baca juga: Aliansi Muslimah Aceh, Tolak RUU PKS
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Muslim geram. Muslim lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut sehingga membuat malu keluarganya.
Nuril dilaporkan atas dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga: Komnas Perempuan: Ada yang Salah Memahami Definisi RUU PKS