JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Sub Komisi Pendidikan Komnas Perempuan Masruchah menilai, fraksi yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah menunjukkan sikap yang inkonsisten.
Pasalnya, seluruh fraksi menyatakan setuju saat RUU tersebut diusulkan dan dibahas dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR.
"Jika belakangan akhirnya dekat-dekat pemilu itu ada partai (fraksi) yang menolak. Artinya ini inkonsistensi baik di dalam Baleg maupun saat Rapat Paripurna ketika pemutusan menjadi rancangan undang-undang prioritas yang harus dibahas oleh komisi VIII," ujar Masruchah dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Baca juga: LBH APIK Nilai Draf RUU PKS Sudah Sesuai Harapan
Masruchah menjelaskan, pembahasan RUU PKS telah disetujui dalam rapat Baleg secara aklamasi pada 2016 lalu.
Artinya tidak ada satu pun fraksi yang menolak atas RUU tersebut dibahas lebih lanjut di tingkat Panja Komisi VIII.
"Memang ketika ditunjuk Panja komisi VIII untuk membahas, tidak ada penolakan dari satu fraksi pun," kata Masruchah.
Masruchah memang tidak menyebut secara spesifik fraksi apa yang dinilai bersikap inkonsisten.
Namun diketahui Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) telah menyatakan menolak pengesahan draf RUU PKS.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, penolakan tersebut didasarkan pada alasan mendasar mengenai potensi pertentangan materi RUU dengan nilai-nilai Pancasila dan agama. Menurut dia, hal itu akan menimbulkan polemik di masyarakat.
Jazuli mengatakan, Fraksi PKS mempersoalkan mengenai definisi dan cakupan kekerasan seksual.
Baca juga: Diah Pitaloka Yakin Kasus Nuril Tidak Terjadi Jika RUU PKS Disahkan
Ia menilai, definisi kekerasan seksual hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual dominan berperspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran.
Bahkan, kata Jazuli, ketentuan itu berpretensi membuka ruang sikap permisif atas perilaku seks bebas dan menyimpang.
Sikap Fraksi PKS ini, lanjut Jazuli, diperkuat oleh derasnya kritik dan penolakan dari tokoh-tokoh agama, para ahli, ormas, dan elemen masyarakat lainnya terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mereka menilai, RUU tersebut berpotensi memberikan ruang bagi perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.
"Atas dasar itulah, Fraksi PKS semakin mantap dan yakin untuk menolak draf RUU tersebut serta akan menempuh langkah konstitusional agar DPR membatalkan pembahasan RUU tersebut," kata Jazuli.
Definisi kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Baca juga: Anggota Komisi VIII Pastikan RUU PKS Tak Legalkan Seks Bebas
Pasal itu menyatakan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Sementara, cakupan tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 20.
Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Sedangkan Pasal 11 ayat (2) menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam dan situasi khusus lainnya.