Kedua, soal kursi ketua MPR. Partai koalisi minus PDI-P tidak ingin kursi pimpinan jatuh ke tangan Gerindra.
Ketiga, kemungkinan berkurangnya jatah menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf ke depan jika anggota baru masuk.
Saat saya mengonfirmasi soal ini kepada politisi ke empat parpol, semuanya menolak membenarkan.
Sekjen Partai Nasdem Johnny Gerald Plate menjawab dalam bahasa politik.
"Partai Nasdem sejak awal bergabung bersama Koalisi Jokowi, memberikan kewenangan kepada Presiden tanpa syarat!"
Seorang sumber di Partai Nasdem mengatakan pada saya, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sebenarnya diminta untuk menjadi pendamping Jokowi sebagai cawapres pada Pemilu 2014. Tawaran itu disampaikan saat Jokowi baru diusung dua partai yaitu PDI-P dan Nasdem.
Namun Partai Nasdem justru menyorongkan kursi kekuasaan itu kepada Jusuf Kalla, yang bukan kader partai.
Setali tiga tuang. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pun menjawab “santun”.
"Tak ada kata harus. Bagi Golkar semua diserahkan kepada Pak Jokowi untuk menentukan kursi-kursi pemerintahannya," kata Airlangga kepada saya dalam acara Sapa Indonesia Malam, KompasTV, Selasa, 2 pekan lalu.
Dalam politik selalu ada istilah panggung depan alias sesuatu yang tampak di permukaan. Biasanya, panggung depan dimainkan dalam pernyataan-pernyataan yang disampaikan melalui media.
Ada pula panggung belakang alias bawah tanah yang tak tampak di permukaan.
Para pemain di panggung belakang biasanya tidak ingin namanya disebut atau identitasnya diketahui publik. Kami, di dunia jurnalistik, menyebut mereka sebagai sumber.
Tapi satu yang pasti, peristiwa dan waktu dalam konteks politik tak akan pernah bisa dipisahkan. Dari sanalah maksud dan tujuan bisa diterjemahkan dan sulit untuk dinafikan.
Pernyataan Harold Laswell pada tahun 1936, “Politics is who gets what, when, how”, selalu akan relevan untuk membantu menjawab semua fenomena ini.
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!