Tak kalah heboh adalah sinyal bahwa Anies Baswedan akan maju dalam Pilpres 2024. Gelagat ke situ sebenarnya sangat samar sudah dapat dirasakan sejak pidato pada hari pelantikannya tentang pribumi dan non-pribumi dan kemudian pelahan tapi pasti sentimen etnis tertentu terus dibangun.
Yang baru lewat adalah ketika Anies dihajar isu pembongkaran instalasi bambu Getih Getah di Bundaran Hotel Indonesia, dengan enteng dia mengatakan, jika menggunakan besi nanti uangnya akan lari ke Tiongkok karena besinya impor dari sana.
Secara sederhana, jumlah besi yang dibutuhkan untuk instalasi semacam itu, sepertinya berlebihan jika dikatakan harus impor. Anies Baswedan tidak akan melewatkan setiap detik masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk mulai dan terus membangun dukungan untuk melaju di 2024.
Mengutip tulisan saya di sini dua tahun lalu, Perlawanan Koruptor dan Oligarki Berbungkus Agama dan Sentimen Etnis, saya mencoba memisahkan sejernih mungkin urusan hiruk pikuk politik semenjak 2012 sampai sekarang ini dan saya yakin akan menghebat di Pilpres 2019 dengan level yang mungkin terdahsyat dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Terlebih lagi saya tidak mengkritik agama apa pun karena saya meyakini ajaran agama apapun adalah kebaikan. Namun, seringkali agama digunakan, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan politik.
Di seluruh penjuru dunia terbukti agama merupakan bungkus paling manjur dan mujarab untuk mengobarkan fanatisme membabibuta. Timur Tengah, Irlandia, Afrika, bahkan di Amerika--agama (dan biasanya bersinergi dengan etnis) masih merupakan senjata paling ampuh.
Para anasir politik identitas sentimen etnis dan agama ini tahu persis bagaimana memainkan isu ini terus menerus serta memanfaatkan momentum Pileg dan Pilpres 2019 ini untuk terus bertahan di semua lini, baik pemerintah ataupun swasta.
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Pemerintah ternyata justru menaikkan perolehan suara PKS secara signifikan yang menerima limpahan dari HTI. Dua partai, yaitu PKS dan PAN, yang diperkirakan tidak lolos ke Senayan kali ini di 2019 justru memperoleh kenaikan suara cukup signifikan dibanding tahun 2014.
Semenjak pertemuan Jokowi-Prabowo dan disusul dengan pertemuan-pertemuan lainnya, para anasir politik identitas sentimen etnis dan agama tersebut mulai ancang-ancang mencari tempat berlabuh yang lain setelah Gerindra sebagai juara 3, bisa dibilang "rujuk" dengan PDIP, partai pemenang Pemilu 2019 ini.
Sewaktu menuliskan ini, rasanya seperti déjà vu di tahun-tahun 2011-2012 ketika Gerindra dan PDI-P berkoalisi mengusung seorang tukang kayu yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo dan seorang etnis Tionghoa menjadi pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta.
Banyak orang menilai pasangan calon ini adalah pasangan aneh dan tidak akan menang melawan petahana ketika itu menghadapi pasangan calon lain yang dianggap lebih berakar di DKI Jakarta.
Sejarah mencatat pasangan Jokowi-Ahok menang gilang gemilang di DKI Jakarta tahun 2012. Danm dua tahun kemudian Jokowi maju sebagai capres dan menang.
Akankah sejarah berulang? Fauzi Bowo hanya menjabat satu periode setelah menang pada tahun 2007 berpasangan dengan Prijanto. Siapa nantinya yang akan berlaga di Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2022?
Bisa dibilang laga di Ibu Kota tahun 2022 nanti akan menjadi "pemanasan" untuk maju dalam laga skala nasional yaitu presiden di 2024.
Nama-nama mulai sayup-sayup berseliweran. Dari nama-nama yang berseliweran belum ada calon kuat yang cukup greget melawan petahana Anies Baswedan.