JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini 23 tahun lalu, 27 Juli 1996, terjadi bentrokan antara dua kubu massa karena dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pemicu kerusuhan yang dikenal dengan Kudatuli atau Kerusuhan 27 Juli ini ditengarai karena tidak terimanya pendukung Soerjadi dengan keputusan Kongres Jakarta yang mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Kerusuhan terjadi di Kantor DPP PDI dan beberapa tempat di Jakarta. Pasca-peristiwa itu, diikuti peristiwa lainnya. Berikut catatannya, dirangkum dari arsip pemberitaan Harian Kompas.
Ancaman bom
Dua hari selepas bentrokan, 29 Juli 1996, ada ancaman peledakan bom di sejumlah instansi di Jakarta.
Arsip Harian Kompas, 30 Juli 1996 menuliskan, ada ancaman bom di Gedung Migas-Harmoni, Departemen Penerangan, Bank Rakyat Indonesia (BRI)I dan II, Pertokoan Proyek Senen.
Baca juga: Sekjen PDI-P: Kudatuli Rekayasa Politik Orba Bungkam Demokrasi
Ancaman tersebut diterima melalui telepon dan membuat sejumlah perusahaan di kawasan Sudirman meminta seluruh karyawannya untuk segera meninggalkan kantor pada pukul 17.00 WIB.
Sekretaris Ditjen Migas saat itu, Rahmat Sudibjo mengatakan, sejak pukul 08.00 sampai 09.00 pagi, pihaknya menerima lima kali telepon gelap yang memberitahukan adanya bom di kantor.
Direktur Bidang Sekretariat dan Hukum BRI Pusat, Deddy Effendi mengatakan, ancaman tersebut bermula dari seseorang yang mengaku dari Badan Intelijen Strategis (Bais).
Penelepon itu bukan hanya satu, melainkan beberapa orang.
Namun ternyata, ancaman tersebut hanyalah gertakan kosong.
Selain ancaman bom, ada perintah untuk menembak langsung para perusuh.
Kassospol ABRI saat itu, Letjen TNI Syarwan Hamid, mengatakan, tidak akan mengeluarkan imbauan, melainkan langsung menindak di setiap lokasi yang berpotensi kerusuhan.
Bahkan, Pangdam Jaya yang juga Ketua Bakorstanasda Jaya Mayjen TNI Sutiyoso, menyatakan, agar melakukan tembak di tempat terhadap para perusuh.
"Perintah tembak di tempat telah diberikan kepada mereka yang mengganggu ketertiban sehingga merugikan banyak orang. Kita mempunyai batas toleransi," kata Sutiyoso kala itu.
Baca juga: PDI-P Harap Komnas HAM Dukung Pengungkapan Peristiwa 27 Juli 1996
Perintah tembak di tempat bukan berarti melepas tembakan mematikan terhadap perusuh.
Kapolres Jakarta Pusat Letkol (Pol) Abubakar Nataprawira, seperti dikutip dari Harian Kompas, 2 Agustus 1996, mengatakan, perintah tembak di tempat adalah menembak di bagian kaki untuk melumpuhkan mereka.
Dalang kerusuhan
Setelah kerusuhan 27 Juli, pemerintah menyebut Partai Rakyat Demokratik (PRD) berada di balik peristiwa itu.
Menurut pemerintah, mereka telah secara nyata melawan Orde Baru.
Harian Kompas, 31 Juli 1996 menuliskan, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengatakan, PRD menunjukkan kemiripan dengan PKI terutama dari istilah-istilah yang digunakan dalam manifesto politik tertanggal 22 Juli 1996.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 27 Juli 1996, Peristiwa Kudatuli
Menurut Soesilo, PRD hanya satu dari beberapa pihak yang disebut membonceng kerusuhan tersebut.
Selain itu, terdapat dua organisasi lain yang disebut juga turut berada di balik kerusuhan, yaitu Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).
Imbas dari pernyataan itu membuat Ketua dan Sekjen PRD, Budiman Sudjatmiko dan Petrus Hariyanto ditangkap pada 11 Agustus 1996.
Lima jam setelahnya, aparat juga menangkap Ketua SMID Jakarta, Garda Sembiring serta Sekjen PPBI, Imanuel Pranowo.
Sebelumnya, aparat telah menangkap salah seorang agitator PRD, Kendar Kusmandar.
Kerusuhan 27 Juli tersebut mengakibatkan 22 bangunan rusak yang terdiri seperti Gedung Persit Chandra Kartika milik Angkatan Darat lalu Bank Kesawan dan Bank Exim.
Massa juga membakar bangunan lain seperti Bank Swarsarindo Internasional, Show Room Toyota, Bank Mayapada, dan Gedung Departemen Pertanian.
Selain itu, kerusuhan juga mengakibatkan terbakarnya 91 kendaraan, termasuk lima bus kota dan 30 kendaraan yang ada di ruang pameran, serta dua sepeda motor.
Pasca-bentrokan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Pencari Fakta untuk menginvestigasi kerusuhan 27 Juli 1996.
Baca juga: Mengenang Tragedi Kudatuli, PDI-P Gelar Wayang
Harian Kompas, 13 Oktober 1996 menyebutkan, Komnas HAM menyatakan bahwa kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka-luka, serta 23 orang hilang. Selain itu, kerugian materiil ditaksir mencapai lebih dari Rp 100 miliar.
Komnas HAM juga menilai terjadi enam pelanggaran HAM yang terjadi saat kerusuhan.
Pertama, adanya pelanggaran asa kebebasan berkumpul dan berserikat.
Kedua, terdapat pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut. Lalu, pelanggaran asas kebebasan dan perlakukan keji dan tidak manusiawi.
Keempat, Komnas HAM juga menilai terdapat pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, serta pelanggaran asa perlindungan atas harta benda.
Akan tetapi, hingga kini penyelesaian kasus tersebut dianggap belum jelas.
Banyak yang masih bertanya-tanya, siapa sebenarnya dalang yang bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa Kudatuli.
Pada peringatan peristiwa Kudatuli tahun lalu, 27 Juli 2018, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, kerusuhan itu merupakan skenario dan rekayasa politik Orde Baru.
"Peristiwa tersebut merupakan skenario rekayasa politik Orde Baru untuk membungkam demokrasi arus bawah dengan kekerasan," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Tahun lalu, peringatan dilkukan dengan mengadakan pentas seni budaya di Telaga Jonge, Desa Pacarejo, Kecamatan, Semanu, Kabupaten Gunung Kidul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.